Mohon tunggu...
Inung Kurnia
Inung Kurnia Mohon Tunggu... Penulis - Gemar berbagi kebaikan melalui tulisan

Ibu dari Key dan Rindang

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Angka Perokok Anak Makin Melenggang, Haruskah Revisi PP (Kembali) Diperdebatkan?

10 Agustus 2022   20:03 Diperbarui: 11 Agustus 2022   10:15 1176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gerakan mengumpulkan puntung rokok yang diinisiasi Lentera Anak. (Foto: Dokumentasi Pribadi)

Bagaimana seorang anak kecil bisa menjadi perokok? Kisah A, pelajar kelas V SD asal Jawa Barat dan M, pelajar SMP kelas IX asal Jawa Tengah bisa menjadi sebuah pembelajaran yang berharga. 

Bocah yang masih berstatus pelajar tersebut tidak hanya menghisap rokok konvensional, tetapi juga sudah mencoba rokok elektrik. 

Melalui ruang zoom meeting pada Webinar bertajuk "Masihkah Pemerintah Berkomitmen Menurunkan Prevalensi Perokok Anak Sesuai Mandat RPJMN 2020-2024" yang diadakan Lentera Anak pada Kamis (28/7/2022), Ulfa, sang kakak dari A, dan juga M berbagi kisahnya.

Ulfa, sebut saja demikian, sambil terbata berkisah tentang sang adik berinisial A yang telah menjadi perokok pada usianya yang masih sangat belia kurang dari 10 tahun. 

Tak tanggung-tanggung, rokok yang dihisap pun sudah merambah ke jenis rokok elektrik. Padahal rokok jenis ini harganya bukan kisaran angka Rp5 ribu, Rp10 ribu atau Rp50 ribu. Seperangkat rokok elektrik lengkap dengan liquid, dan asesorisnya dijual kisaran Rp500 ribu.

Ulfa tidak tahu persis sejak kapan sang adik mulai menggunakan rokok elektrik. "Kami tahunya sekitar beberapa bulan lalu, ketika tiba-tiba ada paket untuk adik dari toko online. Setelah dibuka ternyata isinya rokok elektrik," kata Ulfa.

Meski sudah jelas nama yang tertera pada kemasan boks paket adalah nama sang adik, Ulfa tetap masih berpikir positif. Mencoba bertanya pada sang adik, milik siapakah seperangkat rokok elektrik tersebut? Dan legalah Ulfa begitu tahu bahwa rokok elektrik itu milik temannya A.

Sayangnya rasa lega itu tidak bertahan lama. Karena selang tidak lama kemudian, datang lagi paket yang hampir sama, seperangkat rokok elektrik lengkap dengan liquid dan asesorisnya. "Dari situlah akhirnya adik saya mengaku sudah mulai coba-coba rokok elektrik," jelasnya.

Padahal melarang A dari rokok konvensional saja belum sepenuhnya berhasil. Sang adik masih sering tertangkap mencuri-curi kesempatan untuk merokok konvensional bersama teman sepermainannya.

Bagaimana A yang masih berstatus pelajar SD itu bisa membeli rokok elektrik dengan harga hampir setengah juta rupiah? Rupanya A mengumpulkan uang jajan harian, uang lebaran dan uang lainnya demi membeli rokok elektrik di toko online.

M, pelajar SMP kelas IX berbeda lagi. Ia mengaku mulai merokok karena pengaruh teman sepermainannya. Ditambah kemudahan mendapatkan produk rokok, membuat M sulit untuk berhenti merokok. "Sempat berhenti, tetapi begitu kumpul teman, akhirnya merokok lagi karena faktor pakewuh (red: tidak enak) dengan teman," katanya.

Warung rokok yang jaraknya hanya sekitar lima langkah dari rumahnya, menyediakan penjualan rokok dengan cara eceran. "Lima ribu tiga batang, murah karena bisa ambil dari uang jajan," tambahnya.

Kisah Rin, mahasiswa di Jawa Timur berbeda lagi. Menganggap bahwa rokok elektrik adalah jenis rokok yang aman, Rin yang sudah tobat dari rokok konvensional pun menjajal rokok elektrik ini. Hasilnya, ternyata sensasi yang dihasilkan rokok elektrik tak kalah dengan rokok konvensional, malah kata Rin, rokok elektrik jauh lebih keren dan gaul. 

Itu mengapa tanpa merasa bersalah, Rin kemudian beralih menjadi perokok aktif jenis rokok elektrik. "Saya berpikir rokok elektrik tidak sama bahayanya dengan rokok konvensional karena tidak ada pembakaran, tidak ada asap yang berarti. Baunya juga lebih harum," tuturnya.

Ia mulai merokok elektrik sejak 2019 setelah belajar tutorial merokok elektrik melalui media sosial Instagram.

Oktavian Denta, Departemen Penelitian dan Pengembangan IYCTC mengemukakan bahwa ada banyak anak muda yang beranggapan rokok elektrik jauh lebih aman dibanding rokok konvensional. 

"Padahal penelitian yang kami lakukan menunjukkan bahwa rokok elektrik juga sama bahayanya dengan rokok konvensional. Pada liquid rokok elektrik ditemukan kandungan seperti nikotin, formalin dan zat berbahaya lainnya," kata Denta.

Hasil investigasi yang dilakukan IYCTC juga menemukan betapa mudahnya anak mengakses rokok elektrik melalui toko daring (market place), dan betapa mengkhawatirkannya narasi menyesatkan yang sudah mempengaruhi anak muda bahwa merokok elektrik lebih terlihat keren dan gaul.

"Menarasikan rokok elektrik dengan kata-kata yang lebih gaul, ini bahaya, sehingga bisa menimbulkan misspersepsi pada anak-anak muda," tegas Denta

Diakui Denta, memang ada kesepakatan dari asosiasi pedagang rokok untuk tidak menjual rokok pada anak usia kurang dari 18 tahun. 

Tetapi fakta yang ditemukan di lapangan, berdasarkan wawancara dengan anak-anak, proses pembelian rokok oleh anak-anak sangat mudah. "Anak-anak malah bisa beli rokok melalui aplikasi," tambahnya.

Media sosial (ist/kompas.com)
Media sosial (ist/kompas.com)

Belajar dari Media Sosial

Menjadi perokok jenis rokok elektrik memang tidak semudah menjadi perokok jenis rokok konvensional. Selain produknya yang tidak dijual di sembarang warung, rokok jenis ini harganya juga lebih mahal. Pun cara menggunakannya tidak semudah rokok konvensional.

Tetapi bukan berarti anak kecil tidak bisa mengakses rokok elektrik. Buktinya bocah A dan mahasiswa Rin bisa membeli rokok elektrik dengan harga yang cukup mahal untuk ukuran kantong pelajar. 

Tak hanya membeli, mereka juga bisa menggunakan rokok elektrik dengan mudahnya.  Dalam testimonya A maupun Rin, mereka belajar merokok elektrik ternyata dari media sosial.

"Cara membeli, cara menggunakan, cara mengisi liquid, terus terang tutorialnya sangat banyak di media sosial baik itu Youtube, TikTok atau media sosial yang lainnya," kata Rin.

Melalui media sosial pula, A dan Rin bisa mengetahui merek-merek, aneka varian dan toko yang menjual rokok elektrik. "Iklannya sangat banyak, bisa ditonton kapan saja," tambah Rin.

Maka untuk menjadi seorang perokok elektrik, atau untuk mendapatkan rokok elektrik, tidak dibutuhkan syarat yang rumit. Selama masih bisa mengakses internet, semudah itu pula mendapatkan rokok elektrik, semudah itu pula belajar menjadi perokok elektrik.

"Kalau rokok konvensional ada minimarket yang kita tidak bisa beli karena dibatasi usia. Tetapi kalau beli melalui toko online, siapa yang bisa mengawasi bahwa usia kita masih di bawah umur?" sambung Rin.

Pengakuan A maupun Rin dibenarkan oleh  Drs. Anthonius Malau, M.Si, Direktur Pengendalian Aplikasi Informatika, Kominfo RI. Diakui Anthonius, media sosial saat ini menjadi media yang banyak dimanfaatkan oleh industri rokok baik lokal maupun impor, baik konvensional maupun elektrik untuk menyasar para perokok muda.

"Industri rokok seperti memasang jaring untuk membuat para pemuda menjadi perokok aktif, dengan iklan-iklannya yang luar biasa banyaknya. Narasi yang dibangun pun disesuaikan dengan dunia remaja yang memang menyukai hal-hal yang keren, gaul, terlihat modern," jelasnya.

Iklan rokok melalui media sosial lanjut Anthonius sedemikian massif dilakukan industri rokok. Ia menyebutnya sebagai jerat tikus yang dipasang oleh industri rokok dengan sasaran mangsanya adalah para generasi muda.

"Seperti kita tahu, bahwa akses generasi muda, akses anak-anak terhadap internet semakin meningkat, terlebih sejak pandemi Covid-19 dengan diberlakukannya kebijakan pembelajarana jarak jauh atau PJJ," katanya.

Perokok anak yang sempat viral di media sosial (ist/tribunnews)
Perokok anak yang sempat viral di media sosial (ist/tribunnews)

Perokok Anak Meningkat Tajam

Data Global Youth Tobacco Survey, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kemenkes, dan Sentra Informasi Keracunan Nasional (Sikernas) BPOM menunjukkan tiga dari empat orang mulai merokok di usia kurang dari 20 tahun. Pada 2013 prevalensi perokok anak mencapai 7,20 persen dan kemudian naik menjadi 8,80 persen pada 2016.

Angka tersebut terus meningkat menjadi 9,10 persen pada 2018 dan 10,70 persen pada 2019. Jika tidak dikendalikan, prevalensi perokok anak diprediksi menjadi 16 persen pada 2030.

Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kemenko PMK drg. Agus Suprapto, M.Kes memaparkan kenaikan prevalensi perokok anak sangat mengkhawatirkan. Situasi tersebut selain karena iklan rokok yang sedemikian masifnya di media sosial, juga dipicu oleh membanjirnya produk rokok terutama rokok elektrik impor di pasaran.

"Selama produk rokok membanjiri pasar, selama anak mudah membeli rokok, maka upaya pemerintah mencegah perokok anak dan menghentikan perokok dewasa tidaklah mudah," kata Agus.

Agus mengingatkan hasil survei global penggunaan tembakau pada usia dewasa (Global Adult Tobacco Survey -- GATS) 2021 yang menemukan peningkatan signifikan jumlah perokok dewasa dalam kurun 10 tahun terakhir, yaitu dari 60,3 juta (2011) menjadi 69,1 juta perokok (2021).

"Sudah ada 70 juta perokok bagaimana komitmen kita? Apakah kita akan menjadikan jumlahnya menjadi 100 juta? Jangan sampai ini menjadi bom waktu bagi anak-anak kita. Harus ada komitmen untuk menekan jumlah perokok jika tidak ingin bom waktu meledak," tegas Agus.

Ia juga mengkhawatirkan prevalensi konsumsi rokok elektronik yang naik 10 kali lipat dari 0,3% (2011) menjadi 30% (2021).

Data lain yang tak kalah mencengangkan adalah penjualan rokok yang meningkat 7,2% pada 2021 dibanding tahun 2020, yakni dari 276,2 miliar batang menjadi 296,2 miliar batang. Konsumsi rokok berjumlah 70,2 juta orang dewasa, dan penggunaan rokok elektrik meningkat 10 kali lipat dari 0,3% di tahun 2011 menjadi 3% di tahun 2021.

Fakta-fakta tersebut bagi Agus, menjadi alasan yang sangat kuat bagi pemerintah untuk lebih serius mengendalikan rokok di Indonesia temasuk menyusun regulasi yang lebih tepat. Penetapan target RPJMN untuk menurunkan angka perokok terutama di kalangan anak, membutuhkan dukungan dari semua kalangan.

Webinar bertajuk
Webinar bertajuk "Masihkah Pemerintah Berkomitmen Menurunkan Prevalensi Perokok Anak Sesuai Mandat RPJMN 2020-2024" yang diadakan Lentera Anak pada Kamis (28/7/2022)

Upaya Perlindungan Anak dari Paparan Rokok

Terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan sejatinya menjadi salah satu upaya pemerintah untuk mengendalikan prevalensi perokok di Indonesia. 

Meskipun faktanya regulasi tersebut masih sangat lemah dan belum optimal mencegah dan melindungi anak dan remaja untuk menjadi perokok pemula. Buktinya iklan, promosi dan sponsor rokok masih sangat masif, penjualan rokok batangan masih ada, dan belum ada aturan rokok elektronik.

Selain menerbitkan PP 109/2012, pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak juga telah menyusun strategi untuk menurunkan prevalensi perokok anak. 

Anggin Nuzula Rahma, S.Sos, Perencana Ahli Madya pada Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Kesehatan dan Pendidikan, KPPPA RI, menyebut salah satu strategi perlindungan anak dari rokok adalah mencantumkan pada klaster kebijakan Kota Layak Anak. 

Misalnya dalam klaster satu terkait dengan informasi layak anak dan klaster tiga yakni adanya indikator 17 tentang pelarangan iklan, promosi dan sponsor rokok.

Ia juga menjelaskan Suara Anak Indonesia 2022 yang disampaikan perwakilan Forum Anak kepada Presiden Joko Widodo, menyuarakan permohonan anak-anak agar Pemerintah  mengoptimalkan pengawasan distribusi, iklan dan promosi rokok, serta rehabilitasi khusus bagi perokok anak.

"Kami juga memiliki PP 59 tahun 2021 tentang Koordinasi Perlindungan Anak, yang mengatur perlindungan anak di semua klaster. Saat ini kami sedang Menyusun SK Koordinasi dan sangat berharap adanya komitmen dari seluruh kementerian terkait untuk bersama-sama melakukan perlindungan terhadap anak," ujar Anggin.

Tetapi fakta di lapangan, upaya-upaya tersebut belum mampu menurunkan prevalensi perokok anak. Karena itu, baik Kemen PPPA maupun Kemenkominfo menilai perlunya pelarangan total iklan rokok di internet melalui produk hukum.

"Kalau ada dasar hukumnya, kami pasti akan melarang total. Kami masih belum bisa melakukannya sekarang," lanjut Anthonius Malau.

Lisda Sundari, Ketua Yayasan Lentera Anak (tangkapanlayar)
Lisda Sundari, Ketua Yayasan Lentera Anak (tangkapanlayar)

Jalan Panjang Revisi PP 109/2012

Ketua Tim Kerja Penyakit Paru Kronis dan Gangguan Imunologi, Kemenkes RI, dr Benget Saragih, M. Epid, menjelaskan pemerintah telah menerbitkan PP no 109/2012 yang di dalamnya mengatur soal larangan iklan rokok. 

Tetapi dalam PP tersebut, larangan iklan rokok baru sebatas berlaku untuk iklan di media televisi dan radio, serta media luar ruangan. , dan sangat berharap Revisi PP 109/2012 juga akan mengatur tentang rokok elektronik.

Karena itu, menurut Benget, untuk mencapai target penurunan perokok usia anak dan remaja seperti yang termaktub dalam RPJMN 2020-202, maka revisi PP 109/2012 sudah sangat mendesak.

Ada 5 substansi dasar yang perlu diatur dalam revisi PP 109/2012 yakni, pengaturan rokok elektronik, pelarangan iklan rokok, larangan penjualan batangan, perbesaran peringatan Kesehatan bergambar (PHW) dan pengawasan yang ketat.

"Kami sangat berharap revisi PP 109/2012 segera disahkan untuk  menurunkan prevalensi perokok anak. Jadi kami sangat berharap kepada Bapak Presiden  agar tidak usah lama-lama mengesahkan revisi PP 109/2012. 

Bila revisi PP 109/2012 sudah dilakukan akan semakin kuat upaya untuk menurunkan prevalensi perokok anak. Kita seharusnya bergerak dalam satu garis bernama tujuan bersama untuk melindungi anak-anak," tegasnya.

Harapan senada juga disampaikan drg. Agus Suprapto, M.Kes, Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kemenko PMK. 

Menurutnya, selain iklan rokok yang sangat massif di media sosial, membanjirnya produk rokok terutama rokok elektrik impor menjadi persoalan yang serius. Ia berharap Revisi PP 109/2012 juga akan mengatur tentang rokok elektronik.

"Soal rokok adalah persoalan bom waktu. Jangan sampai kita hancur gara-gara kita lalai mengendalikannya," tegas Agus.

Menurutnya, revisi PP Nomor 109 Tahun 2012 merupakan suatu kebutuhan regulasi yang diamanahkan dalam Perpres Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024 yang menargetkan turunnya perokok usia 10-18 tahun dari 9,1% menjadi 8,7% di tahun 2024 sehingga revisi ini fokus untuk mengendalikan perokok pemula dalam upaya perlindungan anak.

"Revisi PP 109/2012 sangat mendesak karena merupakan mandat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 untuk mencapai penurunan prevalensi perokok anak menjadi 8,7% pada 2024," tukasnya.

Saat ini pemerintah tengah melakukan uji publik terhadap revisi PP 109/2012. Kegiatan uji publik ini bertujuan untuk membuka ruang bagi masyarakat umum dalam memberikan masukan kepada Perubahan Peraturan Pemerintah tersebut.

"Uji publik ini merupakan langkah kita untuk membuka ruang partisipasi masyarakat baik orang perseorangan maupun kelompok yang memiliki kepentingan terhadap substansi rancangan perubahan Peraturan Pemerintah ini dalam memberikan masukan yang lebih baik lagi kedepannya," lanjut Agus.

Adapun muatan pokok yang ada pada revisi PP Nomor 109 Tahun 2012 meliputi ukuran pesan bergambar diperbesar; rokok elektrik diatur; iklan, promosi, dan sponsorship yang berkaitan dengan produk rokok diperketat; penjualan rokok batangan dilarang; serta peningkatan fungsi pengawasan pengendalian konsumsi tembakau.

Agus juga berharap Peraturan yang baru nanti dapat berlaku adil bagi semua kalangan sehingga tidak menimbulkan perselisihan di masa yang akan datang.

"Dengan adanya Uji Publik terhadap Perubahan PP Nomor 109 Tahun 2012 ini kita semua berharap peraturan tersebut dapat meminimalisir perilaku merokok orang Indonesia serta berlaku adil bagi semua kalangan baik itu perorangan maupun dunia usaha sehingga tidak menimbulkan perselisihan di lain waktu," ucapnya.

Purwandoko, Analis Perdagangan Ahli Madya, Direktorat Barang Kebutuhan  Pokok dan Barang Penting, Ditjen Perdagangan Dalam Negeri, Kemendag RI berharap adanya pengaturan penjualan rokok yang lebih spesifik dan memperjelas kewenanagan masing-masing Kementerian dan Lembaga dalam revisi PP 109/2012. 

"Bisa diusulkan dalam perubahan revisi PP 109/2012 harus jelas terkait kewenangan Kementerian terkait pengaturannya. Karena di PP 109/2012 pengaturannya masih umum yakni tidak boleh menjual pada anak di bawah umur 18 tahun, tapi peraturan terkait siapa yang menjual, dan pengenaan sanksinya belum ada," ungkap Purwandoko.

Sementara itu Lisda Sundari, Ketua Lentera Anak dalam sambutannya mengingatkan pentingnya regulasi pengendalian tembakau khususnya untuk menurunkan prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun menjadi 8,7 persen pada 2024. Tanpa kebijakan pengendalian tembakau yang kuat dan tegas mustahil target penurunan prevalensi perokok anak dapat tercapai. 

Apalagi hanya tersisa waktu kurang lebih dua tahun bagi Pemerintah untuk mengoptimalkan realisasi pencapaian target tersebut. Sementara angka prevalensi perokok anak usia 10-18 terus meningkat dari tahun ke tahun, dan berada di angka 9,1 persen pada 2018 (data Riskesdas).

"Masih tersisa waktu 2 tahun lagi, mari kita dukung segala upaya pemerintah untuk menurunkan angka perokok anak ini," tutup Lisda.

Referensi:

1. Webinar bertajuk "Masihkah Pemerintah Berkomitmen Menurunkan Prevalensi Perokok Anak Sesuai Mandat RPJMN 2020-2024"

2. Laman www.lenteranak.org

3. Laman menara62.com

Mampang Prapatan 10 Agustus 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun