Mohon tunggu...
intan anindya1007
intan anindya1007 Mohon Tunggu... mahasiswi

saya memiliki hobi membaca novel

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengapa Hare Krishna Kerap Dipermasalahkan? Menelusuri Sumber Polemik dan Penyelesaian

17 September 2025   21:14 Diperbarui: 17 September 2025   21:14 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

    Keberagaman agama dan kepercayaan di indonesia, memiliki pandangan yang sering kali memunculkan polemik. Salah satu isu yang ramai dibicarakan waktu terakhir ini tentang posisi kelompok Hare Krishna dalam lingkungan agama Hindu. Di media sosial, muncul komentar bahwa Hare Krishna dianggap menyimpang, tidak hanya itu adapun demonstrasi yang menuntut agar mereka dikeluarkan dari Hindu. Masalah ini memuncul kan pertanyaan : Mengapa kelompok Hare Krishna kerap dipermasalahkan? Apakah hanya soal ajaran, atau ada faktor sosial, budaya, dan politik yang ikut berperan dalam masalah ini?

    Gerakan Hare Krishna secara global dikenal sebagai "Internasional Society for Krishna Consciousness" (ISKCON). Gerakan ini lahir di Inida pada tahun sekitar 1960-an, dibawa ke barat oleh A.C. Bhaktivedanta Swami Prabhupada. Dengan mengusungkan ajaran Bhakti (Pengabdian kepada Tuhan) melalui nama suci Krishna, gerakan ini cepat mendapatkan pengikut di berbagai mancan negara. Di Indonesia, terutama di pulau Bali, Hare Krishna hadir sejak dekade 1980-an. Kehadiran mereka tidak bisa dilepaskan dari konteks mansyarakar Bali yang memang sangat kuat dengan identitas Hindu. Namun, sejak awal mereka sering kali dianggap berbeda dengan tradisi Hindu yang sudah berakar di masyarakat Bali.

    Perbedaan ini terlihat jelas dalam praktik ritualmua. Hindu di Bali identil dengan Yadnya, upacara adat, dan persembahan banten yang menyatu dengan budaya lokal. Sebaliknya Hare Krishna lebih fokus pada Bhajan atau nyanyian pujian, penyebaran literasi rohani, serta vegetarian yang sangat disiplin. Tidak sedikit masyarakat Bali melihat perbedaan ini sebagai sesuatu yang di anggap "asing", bahkan menyimpang dari kebiasaan, di titik ini gesekan sudah mulai muncul. Selain soal ritual, pola penyebaran ajaran Hare Krishna juga sering kali menimbulkan perdebatan. Mereka dikenal cukup aktif dalam mengajak orang bergabung. Bagi sebagian kalangan umat Hindu, cara ini dianggap terlalu agresif dan menimbulkan kesan yang eksklusif. Kekhawatiran pun mulai muncul, jangan-jangan gerakan ini dapat menggantikan praktik Hindu yang telah menjadi identitas budaya Bali selama berabad-abad. Faktor identitas memang sangat penting. Umat Hindu di Indonesia sudah lama berjuang untuk mempertahankan eksistensi di tengah dominasi agama lain. Karena hal itu, muncullah kelompok atau aliran baru yang sering dianggap sebagai ancaman terhadap kesatuan umat.

    Namun, jika dicermati lebih jauh, polemik ini sebenarnya tidak hanya soal ajaran, melainkan faktor sosial dan politik ikut serta memengaruhi. "Siapa yang berhak berbicara atas nama hindu?", "siapa yang berhak mendapatkan legitimasi dari lembaga agama?" pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul yang sering kali menjadi tambahan yang rumit dalam persoalan. Sayangnya, perbedaan ini mmebawa dampak yang cukup serius. Pertama, citra Hindu sebagai agama yang dikenal dengan toleransi menjadi tercoreng karena terlihat pecah dari dalam. Kedua, perselisihan bisa menjalar ke ranah sosial, memengaruhi hubungan antarwarga, bahkan sampai ke keluarga yang berbeda pandangan. Ketiga, fokus umat menjadi teralihkan, karena alih-alih memikirkan tantangan besar seperti modernisasu, pendidikan generasi muda, atau pelestarian budaya, justru energi juga bisa habis untuk memperdebatkan identitas.

    Salah satu kunci penyelesaian adalah dialog. Umat Hindu arus utama dari Hare Krishna perlu didik bersama dalam forum yang setara. Dialog ini bukan hanya sekadar formalitas, tetapi benar-benar ruang yang saling memahami. Hare Krishna, bisa menjelaskan kepada mereka secara terbuka, sementara umat Hindu lainnya dapat menyampaikan keresahan tanpa saling menghakimi. Dengan begitu, miskomunikasi bisa langsung di tingkatkan lagi.

    Tidak hanya itu, pendidikan agama juga penting diperkuat. Banyak umat Hindu sendiri yang belum memahami keberagaman aliran dalam tradisi Hindu. Padahal sejak dulu Hindu memang memiliki keragaman tradisi, mulai dari Shaiva, Vaishnava, Shakta, dan lainnya. Bila pemahaman ini ditekankan sejak dini, perbedaan tidak menimbulkan keterkejutan dan kecurigaan. Pendekatan budaya lokal juga bisa menjadi jembatan, Hare Krishna dapat mencoba lebih akomodatif terhadap tradisi Bali, tanpa harus mengubah ajaran mereka. contohnya, dengan mengemas bhajan dalam nuansa seni Bali, atau berpartisipasi dalam kegiatan adat dengan cara yang tetap sesuai dengan prinsip mereka. begitupun sebaliknya, masyarakat Bali juga bisa melihat praktik Hare Krishna sebagai bagian dari dinamika spiritual, bukan menjadi ancaman. Peran lembaga agama disini sangat penting, karena majelis keagamaan semestinya bisa menjadi penengah, bukan sebagai memperkeruh suasana. Lembaga juga sebaiknya mengarahkan dialog untuk menuju titik temu, bukan hanya mengeluarkan vonis yang justru menambah luka bagi setiap kelompok.

    Karena polemik ini cukup berkembang di media sosial, penting juga untuk mebangun narasi yang positif di ruang digital. Alih-alih menyebarkan ujaraan kebencian, umat beragama bisa membuat konten, mulai dari tulisan, video, maupun diskusi daring yang menunjukkan bahwa Hindu kaya akan keragaman. Dengan begitu, masyarakat luas juga tidak dapat mendapat kesan bahwa Hindu identik dengan perpecahan. Kita juga belajar dari pengalaman agama lain. Islam memiliki banyak mazhab, Kristen punya berbagai denominasi, dan Buddha terbagi menjadi Theravada, Mahayana, serta Vajrayana.  Semua agama besar menghadapi perbedaan internal, tetapi ada agama yang mampu mengelola perbedaan tersebut dengan bijak. Hindu di Indonesia tentu bisa meneladani hal serupa. Jika terus terpusat dengan penolakan, Hindu akan menjadi sulit menghasapi tantangan global, Modernisasi, arus Informasi, hingga krisis lingkungan membutuhkan energi dan persatuan.

    Polemik Hare Krishna memperlihatkan bahwa perbedaan yang tidak dikelola, akan menjadi sumber pertentangan atau konflik. Tetapi pada saat yang sama, perbedaan juga dapat menjadi sumber kekayaan spiritual bila didekatkan dengan pikiran terbuka. Pertanyaan yang muncul, mengapa Hare Krishna kerap dipermasalahkan, hal ini memiliki jawaban yang tidak sederhana. Ada banyak unsur yang mempengaruhi, mulai dari unsur budaya, ritual, identitas, hingga politik yang saling berkaitan. Namun, hal yang terpenting bukan mencari siapa yang salah atau siapa yang lebih unggul, melainkan kita mencari bagaimana menemukan jalan penyelesaian.

    Jalan itu bisa ditempuh melalui dialog, pendidikan, akomodasi budaya, peran lembaga, dan narasi yang positif. Dengan begitu, Hindu bisa kembali kepada akarannya yang sejati: menjaga harmoni, merawat perbedaan, dan menebarkan kedamaian.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun