Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Apa yang Bisa Saya Katakan Saat 2 Tahun Menulis di Kompasina

27 Januari 2023   04:18 Diperbarui: 27 Januari 2023   04:24 513
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Apa yang bisa saya katakan saat 2 tahun menulis di Kompasiana | Dokumen diambil dari: kliklegal.com

Siapa saja yang pernah menulis, dia tidak akan pernah menyesal mengapa ia pernah menulis | Ino Sigaze.

Semula berawal dari undangan seorang teman yang bekerja di KJRI Frankfurt untuk mengikuti acara Reboan yang dibawakan oleh Bu Gaganawati tentang menulis di Blog pribadi.

Sharing dan motivasi pada malam itu memberikan saya rasa ingin tahu bagaimana bisa menulis di Kompasiana. Tiba-tiba saya dikirim link dari seorang teman yang juga ingin menulis di Kompasiana.

Dari link pendaftaran itu, saya mendaftarkan diri pada tanggal 27 Januari 2021. Sejak saat itu pula, saya coba menulis puisi-puisi kecil dan tulisan-tulisan pendek lainnya tanpa arah.

Menulis dan asal menulis

Pada saat itu, saya bahkan tidak tahu membedakan mana artikel yang diberi label pilihan, mana artikel utama, mana artikel feature. Karena tidak tahu bahwa ada status artikel seperti itu, maka kepuasan saya saat itu cuma kalau artikel saya sudah ada pada dinding Kompasiana.

Menulis dan selanjutnya tidak tahu apa yang perlu saya lakukan. Kesibukan hanya menulis dan terus menulis. Rasanya nafsu banget untuk menulis, soalnya belum sampai setengah jam, saya sudah punya satu puisi lagi.

Sampai ada pemberitahuan bahwa artikel yang baru itu bisa diposting setelah satu jam berikutnya. Perlahan-lahan saya mengerti. Tiba-tiba teman yang juga ikut menulis memberitahu saya bahwa ada artikel yang ada label pilihan dan yang gak.

Saya terkejut saat itu. Saya baru tahu setelah sudah menulis 40 artikel. Sejak saat itu, saya menyadari mungkin artikel yang diberi label pilihan itu yang bisa dikatakan berkualitas oleh pihak Kompasiana. Entahlah, pokoknya saya menduga-duga saja, karena saya benar gak tahu apa-apa.

Setelah tahu bahwa ada perbedaan itu, saya mulai lebih hati-hati baik dalam hal mengoreksi teks, memperhatikan segi pesan dan isi tulisan. Ketika saya fokus pada hal-hal itu ternyata artikel saya memperoleh label pilihan.

Kemudian penasaran juga kata teman saya, lho ada artikel yang diberi label artikel utama. Saat itu penasaran banget. Seperti apa sih artikel yang diberi label Artikel Utama itu.

Tanpa saya sadar, saat itu saya sudah punya satu puisi yang diberi label Artikel Utama "Winter Jasmin di Musim Dingin" Entahlah seperti apa kegembiraan saya pada saat itu, sulit dilukiskan dengan kata-kata.

Perlahan-lahan saya mulai membaca tulisan para senior Kompasiana yang juga banyak menulis tentang bagaimana supaya bisa memperoleh label Headline, tapi pada akhirnya penulis selalu bilang, tetap saja itu sangat sulit.

Saya semakin memahami bahwa menulis dengan target memperoleh pilihan saja sudah sulit, apalagi memperoleh Artikel Utama. Meskipun demikian, motivasi saya untuk menulis tidak pernah kendur.

Menulis itu proses mengenal diri

Saya menulis dan terus menulis apa saja. Saya akhirnya menyadari bahwa menulis itu suatu proses mengenal diri. Mengapa saya mengatakan seperti itu? 

Pada dasarnya saya tidak tahu apakah tulisan saya baik atau gak, berisi atau gak karena apa yang saya tulis tidak pernah dinilai oleh orang lain.

Nah, di Kompasiana tulisan semua penulis dibaca dan diberi nilai apakah layak untuk pilihan atau gak, apakah layak untuk artikel utama atau gak.

Dari kenyataan perbedaan itu, saya semakin terbawa untuk masuk ke dalam diri sendiri dan bertanya diri. Apakah tulisan saya ini sudah baik dari segi kata-kata, pesan, isinya dan juga struktur dan logikanya.

Saya tahu bahwa poin-poin itu penting , namun cenderung menulis itu mengalir begitu saja sampai lupa bertanya sudah ada isinya atau belum. Kemudian pengennya cepat-cepat posting.

Rasa penasaran supaya memperoleh label lebih besar dari waktu untuk menyiapkan tulisan secara baik. Konyol bukan? Saya akhirnya menertawakan diriku sendiri dan berusaha mengendalikan keinginan diri yang tidak teratur.

Dari tulisan itulah saya belajar mengenal emosi diri saya dan belajar menjadi tenang untuk mempertimbangkan beberapa hal yang penting dalam setiap tulisan.

Saya selalu pikir seperti ini, kalau tulisan itu tidak punya pesan, ya ngapain saya tulis? Dan kalau pesannya itu tidak baik, ngapain pula ditulis? Dalam proses menulis itulah, saya perlahan-lahan mengenal diri.

Bukan soal banyaknya, tetapi soal kualitasnya

Fase pernah menjadi kecewa dengan diri sendiri juga saya alami. Saya kecewa karena ada sekitar 40 artikel lebih, tidak diberi label pilihan selama dua tahun menulis. 

Pernah ingin saya menghapus itu semua, sehingga yang terlihat cuma perfekt yang terpilih semuanya. Namun, ketika saya mempertimbangkan lagi, saya menyadari bahwa itu hal yang keliru.

Pada saat itu, saya belajar menerima diri sendiri. Saya harus bisa menerima bahwa kenyataan tulisan saya yang tidak berkualitas itu ada. Dan itu saya simpan sebagai kenangan, karena dari artikel-artikel itu saya akhirnya punya cerita tentang mengapa tidak dipilih?

Di sana ada artikel yang tidak diberi label pilihan karena dari segi isi yang tidak cukup bergizi. Mungkin juga badan tulisan saya seperti busung lapar, kurang vitamin.

Bahkan ada juga cerita unik lainnya pernah ada artikel yang sudah dipilih, kemudian dicabut lagi labelnya karena melanggar tata etika Kompasiana. 

Semua itu saya terima sebagai pelajaran yang berarti, apalagi 2 tahun lalu, Kompasiana masih begitu banyak kata kunci yang dipasang, sehingga kalau terkena kata-kata itu, maka artikel itu otomatis hilang dan diberikan peringatan.

Terima saja tanpa tahu kata apa yang terlarang. Dalam perjalanan waktu, rupanya Kompasiana juga membaharui sistemnya sehingga menjadi lebih baik dan profesional seperti sekarang ini.

Bukan soal kata, tetapi soal konteks penggunaan kata yang perlu dipahami. 

Badai ketakutan itu belum berlalu karena kata teman-teman kalau berkali-kali plagiat dan melakukan kesalahan, maka akun akan diblokir. Saya akhirnya sadar juga bahwa perlu punya prinsip dalam menulis.

Cara terbaik untuk menghindari perangkap mesin uji plagiat sebenarnya sederhana, menulis dari pikiran sendiri. Dari situlah saya tidak pernah takut bahwa artikel saya masuk ke dalam mesin uji plagiarisme, karena tulisan asli dari pengalaman dan cara pikir sendiri.

Menuangkan apa yang saya pikirkan dengan kekhasan kata-kata saya sendiri tentu saja tidak akan menjadi sama persis seperti tulisan orang lain.

Dilema menulis dan K-Rewards

Pada suatu waktu, saya berada dalam satu dilema karena terasa ada gelombang memburu K-Rewards di Kompasiana itu kencang goyangannya.

Saat itu saya menulis artikel tentang "Menulis tanpa mengejar uang," Artikel itu diberi label Artikel Utama saat itu. Padahal gagasan saya sederhana, menulis dengan motivasi berbagi inspirasi dan hal-hal positif lainnya itu jauh lebih penting, daripada menulis supaya dapat uang pada akhir bulan, itu prinsip saya waktu itu.

Saya tidak merasa iri hati ketika membaca pengumuman teman-teman yang pada saat itu sampai 7 juta per orang. Entah kenapa, saya menyadari bahwa motivasi menulis tidak boleh digusur oleh keinginan untuk mendapatkan uang, karena saya sudah punya penghasilan dari hasil kerja saya.

Dalam hal ini, saya mengerti bagi teman-teman lainnya yang memang punya harapan di tengah krisis Covid-19 bahwa melalui menulis dia bisa mendapatkan uang, ya tentu boleh-boleh saja.

Masuk akal sih, orang sudah membeli pulsa, data internet dan lain sebagainya. Sampai akhirnya suatu waktu, saya juga dianggap punya hak untuk mendapatkan K-Reward.

Saat itu saya mencoba menulis seperti biasa dengan kriteria pribadi ingin berbagi tulisan yang punya pesan inspiratif dan berarti untuk setiap pembacanya.

Ternyata pelan-pelan saya juga mendapatkan uang sedikit dari hasil tulisan. Namun, sayangnya saya punya problem dengan sistem App Gopay karena hanya punya nomor HP Jerman.

Tiba-tiba saya dapat informasi bahwa jika kita ingin memberikan itu kepada orang lain, juga bisa, yang penting masukan nomor Gopay saja.

Sejak saat itu, saya punya pilihan baru hasil tulisan saya diberikan kepada seorang anak Flores yang sedang mengadu nasib di Jakarta karena orangtuanya tidak mampu secara ekonomi.

Saya tahu hasil dari tulisan saya tidak seberapa, tapi selama ini sudah terasa lumayan hampir mencapai sejuta rupiah. Lumayan kan sudah berapa kali bisa bakso bareng sama teman-temannya.

Memperoleh teman-teman baru yang berbeda

Sejak menulis di Kompasiana saya punya teman followers dan following sebanyak 4.438 orang. Ada yang memang aktif berkomunikasi via komentar dan kunjungan berupa like dan pesan-pesan pribadi lainnya dan ada juga yang tidak aktif.

Saya hitung itu semuanya sebagai teman baru. Teman baru itu paling menarik dan paling berarti selama ini. Dari teman-teman itulah saya belajar menulis dan belajar mengenal diri.

Ada yang unik bahwa kita saling menyapa dan saling memberi, saling support dengan kata-kata yang kadang sama dan datar, tetapi itu kata-kata yang baik.

Memperoleh angka-angka yang tidak pernah saya duga sebelumnya

Sejak dua tahun lalu menulis di Kompasiana saya menjumpai angka-angka yang terus berubah dari waktu ke waktu. Angka-angka itu berkaitan dengan jumlah tulisan, jumlah komentar, jumlah artikel pilihan, jumlah headline, jumlah poin, jumlah followers, jumlah following dan jumlah pembaca.

Tentu saja untuk usia 2 tahun tidak bisa dibandingkan dengan teman-teman penulis lainnya yang senior atau yang sang juara di Kompasiana awards selama dua tahun lalu.

Tidak bermaksudkan untuk menghitung semuanya, tapi hal yang mau saya katakan bahwa jika saya tidak pernah menulis di Kompasiana, maka saya tidak punya angka-angka itu.

Betapa saya merasakan bahwa hidup ini berarti karena melihat angka-angka itu. Ternyata tulisan sederhana ada yang membacanya dan kalau tidak pernah menulis, maka apa yang bisa saya ceritakan, mungkin hanya sekedar dongen tanpa rekam jejak literasi yang bisa dilihat dan dibaca.

Terima kasih berlimpah kepada Kompasiana

Tak pernah bermimpi bahwa suatu saat bisa menulis dan mengenal teman-teman penulis. Dalam waktu sekejap arah hidup saya dibelokan seakan-akan itulah panggilan hidup saya bahwa "kamu dipanggil untuk membaca dunia dan berbagi."

Saya berterima kasih karena Kompasiana yang telah menerima saya menjadi anggota rumah Kompasiana. Saya tidak menduga bahwa pernah ada kata nominasi dalam hidup saya, tapi beberapa waktu lalu sempat menerima kiriman sertifikat dan ucapan terima kasih dari Kompasiana yang sangat mengharukan.

Terima kasih sekali lagi kepada Kompasiana dan semua orang yang terlibat di dalamnya. Penghargaan yang paling berarti bukan uang dan sertifikat, tetapi karena saya masih diberi kesempatan untuk tetap menulis dan berkomunikasi dengan ribuan penulis lainnya di rumah ini. 

Rumah Kompasiana dengan pintu terbuka kepada siapa saja dalam irama toleransi hidup berbangsa dan Berbhineka Tunggal Ika itulah yang saya banggakan.

Masih banyak luapan kata yang ingin dicurahkan dalam tulisan ini, tapi terasa bahwa dua tahun ini masih masuk kategori usia bayi. Karena itu, saya menyadari bahwa saya masih terus belajar untuk menulis lebih baik lagi.

Salam sukses Kompasiana dan teman-teman semuanya.

Salam berbagi, ino 27 Januari 2023.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun