Proses demokrasi itu harus diwariskan secara detail kepada anak bangsa ini, termasuk di dalamnya bagaimana anak bangsa ini mempersiapkan semua itu.
Satu hal yang penting lagi, bahwa setiap proses demokrasi itu harus menjadi bagian dari arsip sejarah bangsa ini. Jadi, dari sudut pandang seperti itu, tidak bisa kita pakai cara tambal sulam saja.
Tahun sebagai identitas waktu aktual harus tepat dicatat sesuai dengan kenyataannya dan tidak boleh diubah. Sejarah harus tetap dipegang. Duh saya jadi ingat kata Bung Karno, "jangan lupa pakai jas merah."
Maksudnya bagaimana kalau alat peraga yang lama itu bertuliskan tahun yang lalu dan bukan tahun 2024. Mau ditutupi dengan kertas tahun yang lalu itu?Â
Lakukan proses demokrasi itu dengan elegan dan berkualitas, hal ini karena setiap fase sejarah ini akan berbicara tentang kemajuan bangsa Indonesia.Â
Bangsa yang merangkak maju, jangan disuruh duduk jongkok lagi lho.
3. Problem psikologis akan menjadi problem demokrasi
Saya pernah mengalami pada pemilu sebelumnya ketika masih di Flores. Terasa sekali bahwa berdirinya pengawas berseragam di sekitar loket pemilihan suara, punya efek sendiri.
Belum lagi, selalu dibisikan, "jangan lama-lama ya!" Keterdesakan waktu sering menjadi sebuah tekanan psikis (Physische Belastungen).
Dalam situasi tertekan seperti itu, sebenarnya orang sudah tidak bisa punya potensi untuk menggunakan kebebasan secara utuh. Â Nah, kalau sampai seperti itu, sudah pasti nilai dan kualitas demokrasi kita merosot.
Ya, orang tidak menggunakan haknya sesuai dengan kebebasan hati nurani yang dimilikinya. Sebagai akibatnya, orang lebih memilih apa yang ada di depannya, alias nomor urut paling mudah atau lembaran pertama akan menjadi sasaran colek, tapi juga menuai keuntungan.