Disebutkan lagi: Pengelola Program KPA Kota Semarang, Christiawan, mengatakan dengan rutin dilakukanya penyuluhan kesehatan, pihaknya optimis penyebaran virus HIV/AIDS dapat diredam secara optimal.
Penyuluhan sudah dilangsungkan sejak awal epidemi HIV/AIDS yang didukung dengan puluhan peraturan daerah (Perda), tapi hasilnya nol besar karena:
(a) Salah sasaran penyuluhan (penyuluhan kepada pekerja seks komersial/PSK dan perempuan/ibu rumah tangga) sedangkan yang potensial menyebarkan HIV/AIDS adalah laki-laki dewasa, al. suami; dan
(b). Materi komunikasi dan edukasi (KIE) penyuluhan yang dibumbui dengan moral sehingga yang ditangkap masyarakat hanya mitos.
Lagi pula perilaku seks berisiko terjadi di banyak tempat. Kalau Pemkot Semarang mengatakan bahwa di wilayahnya tidak ada pelacuran, maka secara de jure itu benar karena sejak reformasi lokalisasi pelacuran ditutup.
Tapi, secara de facto apakah Pemkot Semarang bisa menjamin bahwa di Kota Semarang 100 persen tidak ada transaksi seks?
Tentu saja tidak bisa karena transaksi seks yang melibatkan PSK langsung dan PSK tidak langsung terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu dengan beragam modus bahkan memakai media sosial.
Seperti diketahui ada dua tipe PSK, yaitu:
(1). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.
(2). PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, dll.
Adalah hal yang mustahil Pemkot Semarang bisa mendeteksi setiap transaksi seks yang melibatkan PSK langsung dan PSK tidak langsung. Maka, perilaku seksual berisiko tertular HIV terus terjadi di Kota Semarang yang menambah insiden infeksi HIV baru.