Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ironis, Media Sosial (Ternyata) Pemicu Kesepian dan Depresi

27 November 2018   10:34 Diperbarui: 27 November 2018   11:01 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustasi (Sumber: huffingtonpost.co.uk)

Setelah isu 'kecanduan media sosial' ini sebuah studi di Amerika Serikat mengaitkan media sosial dengan depresi (gangguan psikologis pada seseorang yang ditandai dengan perasaan sedih, muram, dan tertekan, serta merasa tak berdaya, putus asa).

Peneliti di Universitas Pennsylvania, AS, melakukan studi dengan mengaitkan pemakaian media sosial dengan depresi. Isu kesehatan mental yang dikaitkan dengan media sosial sudah jadi pembicaraan beberapa tahun terakhir, tapi belum ada kajian yang bisa menghubungkan keduanya (Studi Kaitkan Media Sosial dan Depresi, VOA Indonesia, 10/11/2018).

Melissa Hunt, psikolog di Universitas Pennsylvania, bertindak sebagai pimpinan studi dimaksud. Mereka merancang sebuah studi yang memusatkan perhatian pada Facebook, Snapchat dan Instagram. Hunt mengatakan: "Kami ingin melakukan studi yang lebih komprehensif dan ketat, yang secara ekologis juga lebih valid." Penggunaan 'ekologi' menunjukkan kajian media sosial itu meniru kehidupan di dunia nyata.

Studi melibatkan 143 responden yang sebelumnya sudah jadi responden tentang suasana hati dan seberapa sering mereka memakai telepon untuk masuk ke media sosial. Responden dibagi dalam dua kategori yaitu: (1) kelompok yang tetap melakukan kebiasaan mereka dalam memakai media sosial, dan (2) kelompok yang dibatasi hanya diberikan waktu 10 menit setiap hari untuk mengakses tiga platform media sosial utama: Facebook, Snapchat dan Instagram.

Setelah tiga minggu peserta diuji terkait dengan dampak pembatasan tsb., seperti kekhawatiran rasa kehilangan, kecemasan, depresi dan kesepian.

Studi itu ternyata membuka tabir bahwa ada kaitan yang jelas antara penggunaan media sosial dengan depresi dan kesepian yang meningkat. "Menggunakan media sosial lebih sedikit dibandingkan dengan biasanya, akan menyebabkan penurunan depresi dan kesepian," kata Hunt.

Temuan itu, menurut Hunt, merupakan ironi besar dalam media sosial. Tentu saja Hunt tidak bermimpi karena ada juga penelitian yang menghubungkan depresi dan media sosial yang menunjukkan korelasi positif antara keduanya (huffingtonpost.co.uk, 26/10-2017).

Tentu saja muncul pertanyaan: mengapa media sosial bisa menimbulkan depresi?

Memang, penelitian ini dilakukan secara eksklusif yaitu hanya pada yang berusia 18 - 22 tahun, sehingga belum jelas apakah dampak media sosial sebagai pemicu depresi akan terjadi juga pada generasi lain. Misalnya, pada yang lebih tua atau yang lebih muda. Hunt memperkirakan hasilnya akan sama. Paling tidak bagi yang berusia sampai umur 30 tahun.

Ada dua hal yang membuat media sosial jadi pemicu depresi.

Pertama, menurut Hunt, karena media sosial menunjukkan 'perbandingan sosial ke bawah'. Melalui media sosial terkadang ada kesan bahwa setiap orang lebih keren, lebih sering bersenang-senang dan ini membuat Anda merasa ditinggalkan atau terkucil. Dalam bahasa Hunt hal ini dia sebut sebagai demoralisasi.

Kedua, Hunt memberikan gambaran ketika seseorang menghabiskan waktu di dunia maya melalui media sosial itu artinya ada waktu yang terpakai sehingga seseorang tidak bekerja, tidak bertemu teman-teman untuk makan, atau tidak bertemu teman lagi untuk bercengkerama. Padahal, menurut Hunt, kegiatan-kegiatan di dunia nyata merupakan kegiatan yang dapat meningkatkan kepercayaan diri dan bagaimana seseorang memandang dirinya sendiri.

Dalam bahasa lain disebutkan sebagai makhluk sosial seseorang membutuhkan interaksi dan pengakuan sebagai bagian dari komunitas. Celakanya, teknologi komunikasi, terutama Internet, mengacaukan hal tsb. Tapi, hal itu hanya terjadi pada orang-orang yang menggunakan media sosial untuk kebutuhan 'sosial' mereka.

Celakanya, banyak pengguna media sosial justru 'membenamkan diri' di media sosial ketika terjadi depresi karena itulah yang yang mereka kenali sebagai teman. Kondisi ini kian buruk karena pengguna media sosial akan memilih ke platform lain ketika merasa depresi daripada beranjak dari tempat tidur menjumpai keluarga, kerabat atau teman di dunia nyata.

Memang, banyak orang akan tetap menggunakan media sosial dan tidak akan berubah, Tapi, Hunt berharap ada sedikit perubahan dalam kehidupan terkait dengan dampak media sosial. "Secara umum saya ingin mengatakan, lupakan telpon Anda dan habiskan lebih banyak waktu dengan orang-orang," pinta Hunt (bahan-bahan dari VOA Indonesia, Huffington Post, dan sumber-sumber lain). *

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun