Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Jatim Peringkat Pertama AIDS, Strategi Penanggulangan di Hilir

26 Oktober 2018   09:01 Diperbarui: 26 Oktober 2018   09:12 524
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: en.people.cn)

*Jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Jatim 62.714 yang terdiri atas 43.399 HIV dan 19.315 AIDS

Peringkat 1, Dinkes Jatim Siapkan Strategi Perangi HIV/AIDS. Ini judul berita di akurat.co (18/10-2018).

Sudah hampir 40 tahun bergelut dengan berita HIV/AIDS, judul berita ini bagaikan oase di hamparan penanggulangan yang sebatas orasi moral di podium politis. Ceramah dan berita HIV/AIDS banyak yang dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga yang ditangkap masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah).

Tentu saja judul itu menarik. Tapi, dari pernyataan Kepala Dinkes Jatim, Kohar Heri Santoso, ini ternyata strategi untuk perangi HIV/AIDS hanya sebatas 'macan kertas': "Ada dua strategi yang kami utamakan untuk mengendalikan laju penularan HIV; yang pertama kita meningkatkan penyuluhan dalam rangka destigmasnisasi, yang kedua mempercepat temuan dini untuk segera mendapatkan pengobatan antiretroviral (ARV) sehingga penularan bisa terkendali."

Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 1 Oktober 2018, tentang jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS dari tahun 1987 sd. 30Juni 2018 menjukkan Provinsi Jawa Timur ada di peringkat kedua dengan jumah kasus 62.714 yang terdiri atas 43.399 HIV dan 19.315 AIDS. Jika diperingkatkan berdasarkan jumlah kasus AIDS, maka Jatim ada di peringkat kedua dengan jumlah kasus 19.315 di bawah Papua dengan jumlah kasus AIDS 22.376.

Strategi pertama: meningkatkan penyuluhan dalam rangka destigmasnisasi.

Penyuluhan sudah dilakukan sejak awal epidemi HIV yang diakui pemerinta di Indonesia yaitu tahun 1987. Lagi pula selama penyuluhan HIV/AIDS tetap dengan membumbui informasi dengan norma, moral dan agama maka yang sampai ke masyarakat hanya sebatas mitos.

[Baca juga: Menyoal (Kapan) 'Kasus AIDS Pertama' di Indonesia]

Misalnya, menyebutkan HIV berkembang di lokalisasi pelacuran. Ini ngawur karena HIV/AIDS yang terdeteksi pada pekerja seks komersial (PSK) di lokalisasi pelacuran justru dibawa oleh laki-laki 'hidung belang' yang mengidap HIV/AIDS. Selanjutnya, ada pula laki-laki yang tertular HIV/AIDS dari PSK pengidap HIV/AIDS.

Informasi lain adalah selalu mengaitkan penularan HIV dengan seks di luar nikah: zina, selingkuh, dll. Padahal, penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (di luar nikah, pra nikah, selingkuh, melacur, dll.), tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual (salah satu atau dua-duanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom). Ini fakta medis.

[Baca juga: Tertular HIV karena Termakan Mitos "Cewek Bukan PSK"]

Selain itu dibutuhkan rentang waktu yang tidak sama pada setiap orang dari menerima penyuluhan sampai mengubah perilaku seksual. Pada rentang waktu dari menerima penyuluhan sampai mengubah perilaku bisa saja seseorang melakukan perilaku berisiko dan tertular HIV (Lihat gambar).

Dok Pribadi
Dok Pribadi
Atau bisa saja Pak Dinkes mengabaikan perilaku seksual sebagian laki-laki warga Jatim yang sering seks tanpa kondom dengan PSK karena di Jatim sebagian tempat atau lokasi pelacuran sudah ditutup. Ini disebut oleh, waktu itu, Menteri Sosial Khofifah Indah Parawansa, yang sekarang jadi Gubernur Jatim. Pada tahun 2015 dari 49 tempat pelacuran di Jatim sebanyak 29 sudah ditutup (tribunnews.com, 30/3-2015). Tentu saja termasuk Dolly, tempat pelacuran terkenal di Surabaya).

Celakanya, peraturan daerah (Perda) penanggulangan HIV/AIDS Provinsi Jawa Timur dan perda-perda lain di kabupaten dan kota di Jatim hanya menonjolkan aspek moral sehingga tidak menukik ke akar persoalan untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru.

[Baca juga: Menyibak Kiprah Perda AIDS Jatim dan Raperda AIDS Jawa Timur Mengusung Mitos]

Pertanyaan untuk Pak Dinkes: Dengan kondisi tempat pelacuran ditutup, termasuk Dolly, apakah ada jaminan di Jatim tidak ada transaksi seks sebagai bentuk praktek pelacuran yang berisiko terjadi penularan HIV/AIDS?

Kalau jawabannya "YA", maka itu benar-benar keberhasilan Pemprov Jatim dan pemerintah kabupaten dan kota di Jatim menyadarkan warga, khususnya laki-laki dewasa, agar tidak lakukan hubungan seksual berisiko, terutama hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK.

PSK sendiri dikenal dua jenis, yaitu:

(a). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan, dan

(b). PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, dll.

Tapi, kalau jawabannya "TIDAK ADA" itu baru masalah besar bagi Jatim karena setiap saat bisa terjadi insiden infeksi HIV baru, khususnya pada laki-laki dewasa, melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK melalui berbagai modus di berbagai tempat. Laki-laki yang tertular HIV jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Maka, untuk mengendalikan laju penularan HIV bukan dengan penyuluhan tapi intervensi terhadap laki-laki dewasa agar memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung. 

Intervensi hanya bisa dijalankan kalau praktek PSK dilokalisir. Celakanya, tempat pelacuran di Jatim sudah ditutup sehingga transaksi seks berisiko terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.

Strategi kedua: mempercepat temuan dini untuk segera mendapatkan pengobatan antiretroviral (ARV) sehingga penularan bisa terkendali.

Temuan dini yaitu tes HIV adalah langkah di hilir. Warga dibiarkan tertular HIV di hulu, al. melalui seks tanpa kondom dengan PSK, baru kemudian dilakukan tes HIV.

Dok Pribadi
Dok Pribadi
[Baca juga: Tes HIV Adalah Penanggulangan di Hilir sebagai Pembiaran Penduduk Tertular HIV]

Sedangkan pengobatan dengan obat antiretroviral (ARV) dilakukan terhadap warga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS setelah CD4 di bawah 350. Ini menurunkan risiko pengidap HIV/AIDS yang meminum obat ARV untuk menularkan HIV ke orang lain.

Yang jadi persoalan besar adalah: warga pengidap HIV/AIDS yang tidak terdeteksi. Mereka jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, tanpa mereka sadari karena tidak ada tanda-tanda AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan.

Itu artinya terjadi penyebaran HIV di masyarakat secara diam-diam yang merupakan 'bom waktu' yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS'. *

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun