Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Antisipasi Tragedi Kelaparan di Tanah Papua

30 Juli 2011   07:51 Diperbarui: 14 Februari 2024   16:11 582
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Seorang warga Papua di kawasan pegunungan mencabut ubi jalar (Sumber: beritasatu.com/Istimewa)

Kehadiran transmigran di satu daerah ternyata luput dari rekayasa sosial (social engineering). Pemerintah tidak memperhatikan dampak buruk penempatan transmigran di satu daerah terhadap pola berocok tanam penduduk lokal.

Wilayah pegunungan Papua dengan ketinggian di atas 1.000 mdpl (meter di atas permukaan air laut) tentulah tidak layak untuk menamam padi. Yang diperlukan adalah mengembangkan varietas unggul tanaman khas pegunungan untuk makanan pokok.

Pola bercocok tanam yang dibawa transmigran, umumnya dari P. Jawa, yang terbiasa dengan menaman padi yang diselingi dengan palawija tidak bisa diterapkan di beberapa daerah. Seperti di wilayah pegunungan di Papua tentulah tidak bisa menanam padi sawah.

Maka, yang diperlukan di Papua adalah mengembangkan pola bercocok tanam mereka yang sudah turun-temurun dengan bibit tanaman varietas unggul. Selain umbi-umbian tentulah patut pula dicoba menamam kentang dan palawija.

Yang diperlukan bukan menggalakkan diversifikasi pangan karena makanan pokok mereka sudah tersedia yaitu umbi-umbian, jagung dan sagu. Justru nasi yang menjadi makanan selingan bukan sebaliknya.

Agar ada variasi maka perlu pula ditingkatkan kemampuan masyarakat mengolah umbi-umbian, jagung dan sagu menjadi ragam makanan dan cemilan. Selain untuk konsumsi lokal hasil olahan pun bisa pula sebagai komoditi yang bernilai sebagai oleh-oleh khas.

Jika pemerintah provinsi tidak mengembangkan tradisi pola bercocok tanam yang sudah ada maka kelaparan akan terus terjadi. Mengandalkan beras tentulah akan menambah penderitaan penduduk karena harga mahal sedangkan pendapatan masyarakat sangat rendah.

Ketika otonomi digulirkan ’nasib’ Tanah Papua ada di tangan orang Papua tidak lagi di pusat seperti yang terjadi selama ini.

Tapi, apakah orang-orang Papua yang duduk di ’singgasana’ kepemimpinan memikirkan nasib rakyatnya?

Jawabannya hanya ada di hati kecil pejabat-pejabat di sana. Kalau jawaban dari mulut itu -hanya lip service tentulah hanya janji-jani kosong belaka. 'Kata-kata mutiara' yang selalu dipakai ketika kampanye untuk pemilihan anggota legislatif dan pejabat eksekutif. ***[Syaiful W. Harahap]***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun