Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Antisipasi Tragedi Kelaparan di Tanah Papua

30 Juli 2011   07:51 Diperbarui: 14 Februari 2024   16:11 582
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Seorang warga Papua di kawasan pegunungan mencabut ubi jalar (Sumber: beritasatu.com/Istimewa)

* Pemerintah-pemerintah daerah di Papua memilih membiaya klub sepak bola daripada meningkatkan kesejahteraan rakyat

Kelaparan yang merenggut nyawa sudah beberapa kali terjadi di Papua. Kelaparan terjadi karena bahan makanan pokok penduduk asli, di wilayah pegunungan umbi-umbian dan jagung sedangkan di kawasan pesisir makan pokoknya sagu, tidak lagi tersedia secara berkesinambungan karena penduduk sudah nyaman makan nasi (beras).

Kelaparan di Papua, terutama di wilayah pegunungan, seperti di Yahukimo, pernah terjadi tahun 1989, 1997, 2004 dan 2005. Yang terbaru kelaparan terjadi pada rentang waktu pemilu tahun 2009 di Yahukimo dengan korban tewas dikabarkan 92 (vivanews, 2 dan 4 September 2009).

Kematian karena kelaparan seakan menjadi tragedi di Bumi Cenderawasih itu. Potensi alam yang melimpah ruah, bebatuan yang mengandung emas, hutan dengan kayu yang mahal ternyata tidak bisa membawa masyarakat Papua ke ranah sejahtera lahir dan batin.

Kelaparan yang mengakibatkan kematian tentulah hal yang tidak masuk akal bisa terjadi di Tanah Papua yang subur. Tapi, itulah yang terjadi. Penduduk kesulitan membeli beras karena harganya mahal. Tahun 2002, misalnya, harga beras di Jayawijaya mencapai Rp 11.000/kg. Tentu saja mahal karena beras ‘diimpor’ dari daerah lain dan transpor ke wilayah pegunungan hanya bisa dengan kapal terbang.

Dana APBN dan Otsus yang sangat besar ke Papua ternyata tidak bisa meningkatkan taraf hidup rakyat di sana. Pemerintah kabupaten dan kota di Papua memilih membayar pemain sepak bola daripada membangun jalan raya. Transportasi hanya bisa melalui udara sehingga ongkosnya mahal.

Karena pola makan sebagian besar penduduk sudah beralih ke beras, tentulah pemerintah harus mendirikan gudang logistik (Dolog) di daerah-daerah tsb. Paling tidak di ibukota kabuaten sehingga selalu tersedia cadangan pangan (beras).

Pola tanam dan pola makan sebagian besar penduduk Papua bergeser dari umbi-umbian, jagung dan sagu ke beras karena kehadiran transmigran di sana.

Sejak lama penduduk asli Papua selalu menamam kembali umbi-umbian dan jagung setelah mereka panen. Begitu pula penduduk di pesisir mereka selalu menyediakan sagu. Tapi, karena beras sangat mudah diperoleh di pasar mereka pun tidak lagi menjalankan tradisi yang sudah menghidupi mereka secara turun-temurun. Mereka tidak lagi menaman umbi-umbian dan jagung secara sistematis. Begitu pula penduduk pesisir tidak lagi mengolah sagu secara teratur.

Selain karena mengabaikan tradisi bercocok-tanam yang khas, cuaca pun bisa merusak tanaman sehingga gagal panen.

Terkait dengan hal-hal tsb. maka layak dipertanyakan tugas Dinas Pertanian terkait dengan pola bercocok tanam dan gagal panen. Juga dipertanyakan tugas Dinas Sosial yang tidak semerta mengatasi kelaparan sehingga mengakibatkan kematian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun