Wilhelm Dilthey, sebagai sejarawan dalam tradisi hermeneutika, mencatat bahwa akar awal hermeneutika muncul pada masa Reformasi Protestan, tak lama setelah lahirnya prinsip Sila Scriptura Luther yang dikemukakan oleh Martin Luther. Namun, menurut Dilthey, semangat hermeneutika baru benar-benar terlihat dalam karya para pengikut Luther seperti Philipp Melanchthon (1497–1560) dan Flacius Illyricus (1520–1575), yang mulai menekankan pentingnya penafsiran terhadap makna teks dalam konteks historis dan manusiawi. Melalui perspektif ini, hermeneutika menegaskan bahwa setiap pemahaman selalu dipengaruhi oleh konteks historis, budaya, dan subjektivitas penafsir. Dengan demikian, hermeneutika berperan penting dalam menjembatani hubungan antara pengalaman manusia, bahasa, dan realitas sosial, serta membuka ruang bagi refleksi yang lebih mendalam tentang cara manusia memahami dan memaknai dunia di sekitarnya.
Dalam kaitannya dengan teori akuntansi, pendekatan hermeneutik digunakan untuk menafsirkan praktik, laporan, dan kebijakan akuntansi sebagai hasil dari proses sosial dan budaya yang sarat makna. Artinya, akuntansi tidak hanya dilihat sebagai sistem angka dan aturan teknis, tetapi sebagai bahasa komunikasi bisnis yang mencerminkan nilai, norma, dan interpretasi para pelaku ekonomi. Dengan demikian, hermeneutik menurut Dilthey membantu memahami bagaimana praktik akuntansi dipengaruhi oleh konteks historis, sosial, dan etika, serta bagaimana makna laporan keuangan dapat berbeda tergantung pada penafsir dan situasi yang melingkupinya.
Mengapa pemahaman hermeneutik diperlukan untuk menafsirkan nilai dan makna sosial dalam praktik akuntansi?
Dalam praktik akuntansi, angka‐angka keuangan tampak seperti bukti objektif dari kinerja ekonomi suatu entitas. Namun, di balik angka tersebut terdapat konstruksi makna sosial yang dimana para pelaku (pengurus perusahaan, auditor, pemegang saham, pemangku kepentingan lain) memahami, memberi interpretasi, dan melegitimasi angka tersebut dalam konteks sosial, budaya, dan historis mereka. Di sinilah pemahaman hermeneutik menjadi sangat penting: hermeneutik menyediakan kerangka untuk menggali makna itu, bukan sekadar menerima angka pada nilai nominalnya.
Hermeneutik menekankan bahwa interpretasi selalu terjadi dalam dialog: antara pembaca (atau pengguna laporan), teks (laporan akuntansi, kebijakan, standar), dan konteks (lingkungan organisasi, norma sosial, sejarah). Misalnya, Hans-Georg Gadamer dalam hermeneutik filosofisnya mengusulkan konsep fusion of horizons yakni penyatuan horizon interpretasi pembaca dan horizon maksud teks melalui interaksi terus-menerus. Dalam konteks akuntansi, ini berarti pembaca laporan tidak “kosong dari prasangka” (prejudices), tetapi membawa latar belakang, pengalaman, dan pemahaman mereka sendiri ketika “membaca” angka, sehingga pemahaman terjadi melalui perjumpaan dua horizon tersebut.
Lebih lanjut, hermeneutik memperkenalkan gagasan lingkaran hermeneutik (hermeneutic circle), yakni proses pemahaman yang bergerak bolak-balik antara bagian dan keseluruhan teks. Dalam akuntansi, seorang peneliti atau pembaca mungkin memulai dengan memahami pos‐pos keuangan tertentu, lalu kembali ke narasi manajemen, kebijakan pengungkapan, dan akhirnya kembali lagi ke angka untuk memperdalam tafsirannya. Dengan berulang, pemahaman makin matang dan kaya akan nuansa. Dalam aplikasi nyata penelitian akuntansi, konsep ini dimanfaatkan oleh peneliti yang menyusun wawancara dengan manajer, kemudian menafsir transkrip wawancara seolah “berdialog” dengan data dan teori yang ada, sehingga menghasilkan pemahaman yang bukan hanya deskriptif tetapi juga bermakna kritis terhadap struktur sosial dan kekuasaan dalam organisasi.
Hermeneutik juga mengingatkan kita bahwa interpretasi dalam akuntansi tidak bisa lepas dari pra‐pemahaman (pre-understandings), yakni keyakinan, nilai, dan ideologi yang telah dibawa oleh penafsir sejak awal. Misalnya, seseorang yang sangat percaya pada efisiensi pasar mungkin bercermin ke laporan keuangan dengan fokus pada ukuran laba, sedangkan orang lain yang lebih menekankan keadilan sosial bisa menyoroti aspek pengungkapan lingkungan atau kesejahteraan pekerja. Dalam interpretasi, seseorang harus kritis terhadap pra-pemahaman tersebut agar tidak membiarkan bias tersembunyi mengaburkan makna yang sesungguhnya. Studi tentang hermeneutik dalam akuntansi mengingatkan pentingnya critical reflexivity, yakni selalu menyadari batasan diri sendiri sebagai penafsir dan membuka diri terhadap makna lain dalam teks.
Di samping itu, hermeneutik juga memungkinkan kita melihat bahwa praktik akuntansi terutama dalam domain pengungkapan non-keuangan atau akuntansi sosial/lingkungan adalah wacana sosial. Laporan keberlanjutan atau laporan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) tidak hanya menyajikan fakta; mereka berfungsi sebagai teks persuasi dan legitimasi yang dihadapkan dengan beragam pembaca dengan harapan dan kerangka nilai berbeda. Dengan pendekatan hermeneutik, kita bisa menganalisis bagaimana perusahaan menggunakan narasi dan angka untuk membentuk kesan (image) dan membangun kepercayaan publik, serta bagaimana daya tawar atau dominasi ideologi dapat mempengaruhi makna yang diterima publik. Pendekatan ini relevan terutama ketika perusahaan menghadapi konflik nilai: apakah mereka lebih menekankan aspek keuntungan atau aspek sosial? Hermeneutik membantu menelusuri bagaimana keputusan tersebut muncul dari pertarungan makna dan nilai dalam organisasi dan masyarakat.
Contoh konkret penerapan hermeneutik dalam bidang etika profesional akuntansi dapat dilihat pada penelitian yang menggunakan hermeneutik Ricoeur dalam menafsirkan etika publik akuntan. Penelitian ini menunjukkan bahwa perbedaan dalam pemahaman etika (bukan sekadar kepatuhan) dapat menghasilkan perilaku yang sangat berbeda: akuntan yang memahami etika secara idealis akan bertindak berdasarkan nilai prinsip, sementara akuntan pragmatis cenderung membatasi etika pada kepatuhan terhadap kode dan aturan. Analisis hermeneutik menghubungkan “apa yang dipercayai” (pemahaman) dengan “apa yang dilakukan” (aksi) secara dialektis.