Limbuk terkantuk-kantuk. Secangkir kopi menjadi saksi percakapan sunyi. Limbuk mulai mendengkur, lelap tertidur. Secangkir kopi menjadi saksi, ruh melayang ke alam mimpi.
*
Kemenangan itu semu.
Kerumunan pecundang gegap gempita mencabik kemanusiaan.
Muda perkasa dalam gerombolan, terbirit bila sendiri.
Ratusan pasang mata tanpa nurani.
Jadikan satu nyawa seharga umbul-umbul semata.
Jalma tertinggi sebatas sosok nir budi.
Mesin penggilas peradaban,
Beringas, ganas ciptakan nahas demi nahas.
*
Kau korban, kami pahlawan.
Kau pandir, kami pemikir.
Kau pendosa, kami pengawal gerbang surga.
Dia penista kitab Sang Dewa, maka kau mesti binasa.
Telan saja.
*
Kami berhak menamatkan lembar kisahmu.
Jangan pertanyakan itu, mau kami -- aku, aku, aku.
Aku mengambil hakmu, kami mau -- aku, aku, aku.
Korupsi? Itu penyelamatan uang pajakmu oleh kami.
Wacana? Akui saja kepakaranku -- menggantang laut di udara.
Telanlah.
*
Gaduh, aku berpesta.
Senyap, kumencari selamat.
Kacau, macan ompong mengaum berseringai.
Peragaan bunglon -- serigala mengembik, pedagang buah busuk menumpang, pengkhianat menyelinap.
Ini momen emas memasang kuda-kuda dan jurus pengecut.
Jangan ribut bila aku berebut rumput.
Kebohongan? Itu persepsi.
Tidakkah kau mengerti? Aku sekadar tunaikan panggilan mulia, membangun istana berdinding permata,
perjuangkan warisan impian tujuh puluh turunan.
Telan saja.
*
Gagak hitam melayang di balik awan pekat, melapar, akhirnya merendah -- mengitari bangkai kemanusiaan.
*
Secangkir kopi tumpah ruah, cangkir gerabah pecah terbelah. Seekor kucing mengeong, melesat menghindar dari pengejaran. Limbuk terbangun, mengumpulkan ingatan, lalu menghela napas tertindih, 'Hanya mimpi!'
26.09.2018 | Indria Salim |