Mohon tunggu...
Indrawadi Mantari
Indrawadi Mantari Mohon Tunggu... -

Citijen Journalism dan Humas Univ.Bung Hatta Padang

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kisah Gempa Padang 7.9 SR Padang, 30 September 2009

30 September 2011   03:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:29 550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dengan kartu XL, aku tersambung dengan "mamak rumah" Heri Gemita, ia saat itu bekerja di Indosiar, aku yakin saat itu sedang di kantor dan telah tahu ada gempa besar di Padang. Tanpa basa-basi seperti layaknya menelpon, aku lansung saja bertanya " Mit Gampo gadang di Padang, Tolong carian data, dimana pusatnya, dan berapa SR, dan apakah berpotensi Tsunami ??".

Tentu saja dia kaget, karena nomor XL ku belum terdaftar di Hpnya, " Sia ko main hariak-hariak sajo, sopan lah sakatek, jaleh den sadang dead line" jawabnya. Aku tetap nyerocos saja, "capek sajo lah Mit, cari datanya di situs BMG atau USGS, aden mah Mantari ( Mantari: pangilan sehari-hari dengan dia-red).

Rupanya dia cukup paham, dengan gaya bicaraku yang tidak seperti biasanya, " Oke, tunggu sabanta" jawabnya. Tetangga bertanya lagi, apakah sudah mendapatkan informasi, aku hanya menggeleng dan mengatakan, biasanya data paling cepat di ketahui 5 menit usai kejadian.

Sekitar 10 menit, ketika aku masih mencoba menghubungi nomor-nomor lain, masuk panggilan dari Heri Gemita " Mantari, gadang gamponyo, kecek USGS 7,9 SR, dan berpotensi Tsunami, pusatnya di Mentawai, segeralah cari tempat yang tinggi, kini ko a nan paralu sabuik sajolah" katanya di balik gagang telpon.

"Tolong se kabarkan, ke semua keluarga atau teman-teman yang bisa dihubungi, kami sekeluarga, baik-baik saja, tolong isi pulsa XL ini, karena lampu mati dan semuanya kacau", jawabku dan langsung menutup telpon.

Anakku Nadira yang bermain sepeda, pulang menangis sambil mendorong sepeda kesayangannya, sementara istriku dengan dua anakku, menangis melihat Nadira menangis mendorong sepeda.


"Ayah ado gampo, batingga-an Arin, Arin takut Yah" katanya sambil tersedu-sedu. (Arin: panggilan sehari-hari, red).

Langsung ku gendong dan ku peluk erat-erat, "Ngak apa-apa, kan sudah ayah bilang tadi, jam 5 harus pulang dan mandi" kataku. Setelah agak tenang, aku tanya "Saat gempa tadi gimana ??", tanyaku. "Arin jatuhkan sepeda, dan pegang orang dewasa dan mengucap-ngucap nama Allah" jawabnya. Ku peluk erat dia lagi dan aku katakan "anak pintar memang seperti itu"

Rupanya ia masih teringat dengan pesan-pesan yang sering kusampaikan jika terjadi gempa, dimana saja berada, cari saja orang dewasa dan pegang dia, serta jauhi bangunan yang mungkin akan runtuh.

Kepanikan masih terjadi, semuanya mengomel-ngomel, karena lampu mati dan sinyal Handphone lenyap. Setelah anak-anakku terkumpul, aku masuk ke rumah mengambil tikar dan melepas slang kompor gas, bergegas saja, dan hanya mengambil tikar.

Aku coba tenangkan warga, dengan menelpon Daus Tombol, yang juga pakai kartu XL di Kampus Universitas Bung Hatta, rupanya para aktifis kampus tersebut sedang memantau air laut, dari dia lah aku dapatkan informasi, setelah 30 menit berlalu, tidak ada tanda-tanda air laut naik, dan berbagai kerusakan yang terjadi di kampus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun