Mohon tunggu...
Indrato Sumantoro
Indrato Sumantoro Mohon Tunggu... Insinyur - Pengamat Aspal Buton

Lulusan Teknik Kimia ITB tahun 1976 Pensiunan PT Chevron Pacific Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Belajarlah dari Orang Baduy

19 April 2018   07:37 Diperbarui: 8 Mei 2018   08:21 4642
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Dokumentasi Pribadi

"Carilah ilmu sampai ke Negeri Cina. Tetapi belajarlah arti kehidupan dari orang Baduy". Bersama ini kami ingin berbagi pengalaman mengenai apa saja yang sudah kami jumpai, alami, lihat, rasakan dan kagumi dari kehidupan orang Baduy di daerah Banten. Kami mendapat kesempatan untuk mengunjungi kampung orang Baduy Luar di terminal Ciboleger, kampung Kaduketug, dan kampung orang Baduy Dalam di kampung Cibeo pada tanggal 14 dan 15 April 2018.

Persiapan yang telah kami lakukan untuk berkunjung menemui orang Baduy Dalam adalah selain membawa baju, payung, lampu senter, dan lain-lain untuk keperluan menginap 1 malam, kami juga membawa buah tangan sebagai oleh-oleh dari kota untuk pemilik rumah yang akan kami singgahi sebagai tempat bermalam di kampung Baduy Dalam. Buah tangan kami ini juga bertujuan untuk meringankan beban tuan rumah agar kedatangan dan keberadaan kami di tengah-tengah keluarga sahabat Baduy tidak merepotkan. Nah di tengah perjalanan sebelum kami sampai di pemberhentian akhir kendaraan di terminal Ciboleger, kami sempat mampir di pasar tradisional dan mini market di sekitar kota Rangkas Bitung untuk membeli keperluan makan seperti; beras, ikan asin, telur, mie, minyak goreng, tahu, tempe, gula, kopi dan sayuran. Kami membeli beberapa keperluan di atas agak berlebih, sehingga ada yang masih tersisa setelah kami kembali pulang untuk keluarga sahabat Baduy Dalam untuk keperluan beberapa hari ke depan.

Kami memerlukan waktu kurang lebih sekitar 5 jam perjalanan dari Jakarta untuk sampai ke terminal Ciboleger, kampung Kaduketug. Terminal Ciboleger adalah "pintu masuk" dimana orang luar dapat berinteraksi langsung dengan orang Baduy Luar. Untuk mencapai Baduy Dalam di kampung Cibeo, kami memilih jalan melalui desa Cijahe yang dapat ditempuh dengan mobil sekitar 2 jam dari terminal Ciboleger. Sangat disayangkan sekali jalan menuju Cijahe rusak parah, sehingga hal ini merupakan "perjuangan" yang berat bagi kami untuk dapat sampai kesana. 

Dari Cijahe perjalanan ke kampung Cibeo hanya bisa dilanjutkan dengan berjalan kaki melalui jalan setapak yang naik turun bukit kurang lebih sekitar 1 jam. Kami tiba di desa Cijahe sudah agak siang, dan kebetulan sedang turun hujan. Kami sangat beruntung karena ada beberapa orang Baduy Dalam yang dengan sukarela membantu kami membawakan ransel yang berat, bahan makanan dan minuman untuk bekal dibawa ke kampung Cibeo. Kami terpaksa berjalan kaki dengan hati-hati, karena jalan setapak yang berbatu batu menjadi licin karena hujan. 

Sebenarnya ada jalan lain yang bisa ditempuh dari terminal Ciboleger langsung menuju ke kampung Cibeo. Tetapi untuk sampai kesana kita harus berjalan kaki lebih jauh, dan melalui jalan setapak dengan medan yang lebih berat kurang lebih sekitar 5 jam perjalanan. Memasuki daerah orang Baduy, kita harus tahu bahwa ada batas alam yang akan dilalui sebagai pemisah tempat tinggal orang Baduy Luar dan orang Baduy Dalam, yaitu sungai Ciujung dimana kedua tempat tersebut dihubungkan oleh jembatan gantung bambu yang membentang. Jembatan sungai Ciujung tesebut sebagai tanda batas dimana adat istiadat orang Baduy Dalam mulai diberlakukan. Batas ini harus dipatuhi dan dihormati oleh siapapun yang akan berkunjung ke daerah Baduy Dalam.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata Baduy adalah nama segolongan penduduk di Banten Selatan (Jawa Barat) yang masih tetap mempertahankan adat istiadatnya. Mungkin banyak diantara kita yang sudah tahu dan mengenal orang Baduy, karena kita pernah melihat mereka berjualan madu hutan di kota-kota, atau melihat mereka sedang berjalan kaki beriringan di sepanjang pinggir jalan raya. Mereka memakai pakaian khas Baduy yang terbuat dari kain katun berwarna hitam, menggunakan ikat kepala putih, dan tanpa alas kaki. Benar apa kata Pepatah bahwa "karena tak kenal, maka tak sayang". Kebetulan sekali kami mendapat kesempatan untuk mengenal orang-orang Baduy dengan lebih dekat lagi. Ada beberapa teman yang sudah pernah berkunjung ke kampung Baduy beberapa kali, sehingga mereka sudah mengenal orang-orang Baduy tersebut dengan baik.

Kesan pertama kami ketika bertemu dengan Emen, seorang Baduy Luar yang merupakan penghubung antara kami dengan orang Baduy Dalam di terminal Ciboleger adalah bahwa mereka cerdas. Selama ini kita berpendapat bahwa orang Baduy itu dianggap "bodoh" dan "primitif", karena mereka tidak boleh mengenal teknologi modern. Dan meskipun mereka tidak bersekolah, tetapi mereka tetap terus belajar secara otodidak dari kehidupan mereka sehari-hari dan alam lingkungannya, yang menurut istilah mereka "nyakola". Mereka mempunyai semangat dan tekad yang kuat untuk tetap mempertahankan adat istiadatnya seperti yang sudah diajarkan oleh para leluhurnya secara turun temurun. Dan kenyataannya sekarang orang Baduy Luar sudah mengenal dan mampu mengoperasikan "Hand Phone", sehingga mereka dapat menerima pesanan madu hutan dari orang kota di sekitarnya, bahkan dari Jakarta juga. Dan orang Baduy Dalam pun apabila ingin menggunakan "HandPhone", mereka bisa meminjamnya dari orang Baduy Luar. Orang Baduy sudah banyak berinteraksi dengan masyarakat dari luar Baduy. Bahkan ada diantara mereka yang hampir setiap minggu pergi ke Jakarta untuk mengantarkan pesanan madu hutannya. Ini menunjukkan bahwa dampak dari modernisasi memang sudah masuk ke dalam lingkungan kehidupan mereka sehari-hari. Dan hebatnya lagi, orang Baduy Dalam tetap tidak terpengaruh dan tidak berubah karakternya. Mereka tetap saja bersahaja dan jujur dalam hidupnya. Mereka sudah memiliki benteng pertahanan yang sangat kokoh di dalam jiwanya untuk dapat menangkal ekses negatif dari dampak kehidupan modern. Orang Baduy Dalam memiliki kepercayaan dan adat istiadatnya yang sangat kuat, yang sudah diturunkan dari nenek moyangnya sejak dahulu kala. Dan mereka sangat patuh dengan pendiriannya tersebut.

Kesan kedua kami selama berinteraksi selama hampir kurang lebih 24 jam dengan orang Baduy adalah mereka sangat ramah. Keramah tamahan mereka begitu tulus, sehingga kami dapat merasakan perbedaan keramah tamahan mereka dengan keramah tamahan orang kota. Senyum mereka begitu alami dan cahaya mata mereka begitu bening, sehingga bukan mata kami saja yang dapat melihat aura keramah tamahan mereka, tetapi hati kami pun juga dapat merasakan kesejukan dan sekaligus kehangatan saat berinteraksi dengan mereka. Hal ini tentu saja berbeda dengan keramah tamamahan orang modern, yang pada umumnya di balik senyumnya ada maksud tertentu yang tersembunyi. Hal ini dapat dilihat dari sinar matanya yang tajam, yang seolah-olah ingin membaca apa isi hati kita.

Kesan ketiga kami adalah orang Baduy mempunyai ikatan kekeluargaan yang sangat erat dan harmonis. Hal ini dapat kami amati dan rasakan sendiri dari bagaimana mereka mampu bercerita panjang lebar secara terbuka mengenai adat istiadatnya dan alasan-alasan mengapa beberapa pantangan yang tidak boleh dilanggar. Dan semua penjelasan-penjelasan mereka tersebut ada dasar ilmiahnya. Jadi bukan hanya sekedar mitos belaka. Dan dari tutur bahasa dan intonasi percakapan mereka selama kami dijamu santap malam dan sarapan pagi keesokan harinya, sangat terasa sekali kalau kami sedang berada di tengah-tengah "keluarga" sendiri. Makan malam yang hanya diterangi oleh 2 batang lilin dan 1 buah lampu minyak kelapa yang menempel di dinding bilik rumah, sangat menambah syahdunya suasana malam itu. Supri, nama si pemilk rumah dan istrinya, sungguh cekatan dalam menghidangkan nasi liwet dan aneka lauk pauknya untuk makan malam. Makan malam kami sangat berkesan, karena kami ditemani oleh 10 orang orang Baduy Dalam keluarga Sapri yang ikut hadir pada saat itu. Meskipun kami dihidangkan makanan yang sederhana dari bekal yang kami bawa sendiri sambil duduk lesehan, tetapi rasa nikmatnya sangat luar biasa. Bumbu penyedap dari masakan yang mereka hidangkan adalah rasa "persaudaraan" yang akrab, sehingga tidak terasa sama sekali adanya perbedaan diantara kami dengan mereka. Kami dapat bersenda gurau bebas tanpa basa basi, termasuk mengenai hal-hal yang sifatnya sangat pribadi. Gelak tawa kami yang menggetarkan malam yang gelap, yang diiringi oleh hujan lebat dan bunyi petir yang menggelegar, membuat kami lupa bahwa kami juga mempunyai keluarga sendiri di kota. Kami juga merasa heran betapa rukunnya mereka, karena kami tidak pernah mendengar sama sekali adanya perbedaan pendapat atau pun nada tinggi selama bergaul dengan mereka. Dan pada saat tiba waktunya bagi kami untuk melaksanakan sholat wajib, mereka pun menunjukan toleransinya yang sangat besar dengan menyediakan sebagian ruang bersamanya bagi kami untuk dapat menunaikan ibadah sholat wajib secara berjamaah. Sangat disayangkan sekali momentum yang sangat langka dan begitu menyentuh ini tidak dapat kami abadikan dalam bentuk rekaman video atau pun foto-foto, karena memang dilarang untuk menggunakan peralatan modern di lingkungan orang Baduy Dalam.    

Kesan keempat kami adalah bahwa mereka sangat patuh terhadap adat istiadatnya meskipun peraturan itu tidak tertulis, namun disampaikan secara lisan turun temurun. Rumah mereka sangat sederhana, tidak berjendela. Hanya ada 1 pintu masuk, 1 kamar tidur pemilik rumah, tungku untuk tempat masak, selebihnya adalah ruang bersama. Kami tidak melihat adanya simbol-simbol adat istiadat atau kepercayaan. Mereka mempunyai waktu-waktu tertentu untuk melaksanakan ritual adat istiadatnya, dan juga untuk melakukan suatu kegiatan-kegiatan yang sifatnya tradisional, Jadi tidak boleh dilakukan sesuka hatinya, kapan saja dan dimana saja. Semuanya sudah ada aturan dan jadwal waktu yang harus dipatuhi sesuai dengan kepercayaannya. Adat istiadat orang Baduy Dalam sangat menjujung tinggi kehidupan alam dan lingkungannya. Mereka sadar sekali bahwa selama alam dan lingkungan masih terjaga, mereka akan masih tetap dapat bertahan hidup, meskipun sedikit demi sedikit tergerus oleh dampak dari kehidupan modern.

Kesan kelima kami mengenai orang Baduy adalah mereka "kaya". Seperti yang dikatakan oleh AA Gym bahwa "orang kaya itu adalah orang yang paling sedikit kebutuhannya".  Orang Baduy hanya memiliki 2 buah baju, 2 buah helai kain penutup aurat yang disebut "aros", sebilah golok, dan tidak memiliki alas kaki. Kalau sudah berkeluarga mereka akan mendirikan rumah panggung yang bentuknya seragam dan terbuat dari bahan alami yang sama. Rumah dibangun tidak boleh menggunakan paku besi. Semuanya harus menggunakan bahan baku yang berasal dari alam, seperti; kayu, bambu, dan rotan yang menjadi komponen penting dalam membuat bangunan menjadi kokoh, atap rumah yang ditutupi oleh daun-daun pohon sagu yang sudah dikeringkan, di anyam dan kemudian disusun secara rapi dan berlapis lapis. Tidak ada perabot apapun di dalam rumah, kecuali tikar sebagai alas tidur. Dengan demikian tidak ada satupun bahan yang harus dibeli. Semua sudah disediakan oleh alam. Dan kalau ada orang Baduy Dalam yang sakit, obat-obatannya menggunakan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang bisa diambil dari hutan tempat mereka tinggal. Kita menjadi paham bahwa mereka menguasai juga ilmu pengobatan herbal tradisional yang mumpuni. Jadi orang Baduy adalah orang "kaya". Mereka tidak perlu membayar listrik, air, uang sekolah, pajak, kendaraan, dll. Alam sudah menyediakan semua kebutuhan untuk mereka. Mereka butuh uang untuk membeli makanan, karena hasil dari bercocok tanam tidak mencukupi untuk dapat dimakan oleh keluarga mereka. Hasil panen mereka sedikit oleh karena keterbatasan lahan pertanian yang mereka miliki. Hal ini karena lokasi dimana masyarakat Baduy Dalam tinggal di kelilingi oleh hutan lindung. Atas kesadaran mereka sendiri, mereka turut bertanggung jawab dalam menjaga keberadaan serta kelestarian hutan lindung di sekitarnya tersebut. Guna untuk menambah penghasilan mereka, masyarakat Baduy bisa juga membuat berbagai macam kerajinan tangan dari kulit kayu sebagai cindera mata dan merupakan produk kreatif yang dapat di jual ke luar Baduy. Dan penghasilan mereka terbesar adalah dari hasil penjualan madu hutan, dan mengantarkan wisatawan berkunjung ke daerah Baduy Dalam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun