Mohon tunggu...
indra sinaga
indra sinaga Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kekancan

29 Maret 2019   20:23 Diperbarui: 29 Maret 2019   20:32 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

   Angin meniup semua yang menghalangi jalannya termasuk daun yang sekarang berterbangan. Dingin. Itu kesan pertama yang kurasakan saat angin menyentuh kulitku. Aku merasakan aroma mistis yang begitu kental.

   Seharusnya aku sudah mengerti tentang ini. Kenapa aku yang harus merasa tersakiti. Batinku yang berbicara.

   Setetes, dua tetes, tiga tetes sampai berlanjut dengan tetesan. Ternyata saat ini langit lagi bersedih, bersamaan dengan itu sebuah kilat tajam melintas di depan mataku.

   Kaki ini sudah tak sanggup lagi melangkah, pandangan ini sudah kabur tergenang oleh air mata. Perlahan mataku sedikit terpejam menahan perih dan sakit.

   Samar-samar aku mendengar rintihan seorang, pandangan ku kabur sekali seperti ada halangan untuk melihat dengan jelas. Aku merasa diatas kepalaku ada beban yang berat sehingga sulit untuk digerakkan.

"Sisil" ucapku susah payah menyebut namanya. Dia langsung menoleh ke arahku, "Okta, kamu udah sadar. Sebentar aku panggil dokter dulu," balasnya sambil menuju kearah dinding dekat pintu.

***

   Tak lama seorang berseragam putih memasuki ruangan. Hanya satu hal yang kupikirkan saat ini. Aku kenapa. Itulah yang kupikirkan.

   Setelah cukup lama, ia keluar dari ruanganku berganti dengan Sisil. Aku menatap Sisil bingung. "Aku kenapa Sil?" tanyaku. Bukannya menjawab, dia malah menangis sambil menatapku.

"Maafin aku, enggak bisa bantu kamu waktu itu. Waktu aku datang kamu udah jatuh di jalan karena ditabrak oleh mobil, aku minta maaf Okta," balasnya dengan air mata yang sangat deras.
Aku mengerti berarti aku di sini karena kecelakaan. Tak masalah yang penting aku masih hidup walaupun beberapa anggota tubuhku luka-luka.
Aku tersenyum padanya, "Enggak apa-apa. Saat takdir datang tidak ada yang bisa menolak. Ini bukan salah kamu," jawabku.
"Makasih Okta," balasnya menahan air mata yang berikutnya akan jatuh. Aku menganggukkan kepala, lalu ia pergi dari ruangan ini karena aku sendiri ingin beristirahat.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun