Mohon tunggu...
Indra Purnomo
Indra Purnomo Mohon Tunggu... Freelancer - Menanam cinta di setiap langkah

Meninggalkan dan ditinggalkan adalah hal yang menyakitkan. Namun jangan khawatir akan hal tersebut, kita dapat bertemu tanpa meminta.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Semestinya Dapat Hidup Secara Damai

21 Juli 2019   11:31 Diperbarui: 21 Juli 2019   11:39 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Ikuti aku," katanya.

"Kau akan bawa aku ke mana?" tanya saya.

"Sudah, ikuti saja aku," jawabnya sembari berjalan menuju masjid Nurul Islam.

Jujur, saat itu saya sangat heran, mengapa Rohim mengajak ke masjid di pagi hari. Ketika sampai di masjid saya melihat segerombolan orang yang sedang berkumpul membicarakan sesuatu.

Perlahan Rohim mengajak saya untuk mendekat ke segerombolan orang tersebut. Ternyata mereka adalah teman-teman saya di masa kecil. Mereka tampak beda sekali ketika bertemu lima tahun terakhir. Sampai-sampai saya di buat heran oleh penampilannya.

"Apa kabar?" tanya Uki salah satu teman semasa kecil saya.

"Baik, Alhamdulillah, bagaimana dengan kamu?" tanya saya.

"Alhamdulillah saya juga baik, silakan duduk," suruh Uki sembari tersenyum.

"Jangan sungkan, kita sudah berteman sejak kecil. Santai saja," sambar Rohim.

Kaku sekali. Kemudian saya berkesempatan untuk duduk dan memandang sekeliling masjid.

Indah. Sudah dipercantik. Belum lagi saat ini pengharum ruangan masjid sudah berfungsi dengan baik.

"Kau ingin membantu kita?" tanya Rohim kepada saya.

"Iya, tentu," jawab saya.

Rohim mengajak saya untuk mengambil makanan dan minuman di rumah makan "Bu Pita."

Selama saya shalat jumat di masjid Nurul Islam baru kali ini ada hidangan nasi telur dan teh manis untuk jamaah.

Pada saat yang bersamaan rasa bahagia membalut hati saya. Gembira sekali ketika melihat semangat teman-teman peduli akan kegiatan yang diselenggarakan oleh masjid. Sebelumnya malah hanya merokok dan minum-minum saja di depan masjid. Tapi sekarang tidak seperti itu.

Adzan jumat berkumandang. Tongkat khutbah sudah bersandar di samping mimbar. Makanan dan minuman juga sudah berjejer rapi di atas meja depan teras masjid. Para jamaah bergegas mengisi shaf yang kosong. Rohim berdiri dan mulutnya mendekati mikrofon. Segera ia mengumandangkan lafadz qomat. Khatib menaiki mimbar dan mengucapkan salam kepada makmum.

Sepertinya suara khatib jumat kali ini tidak asing di telinga saya. Benar saja, ia adalah Fikar, teman semasa kecil yang tinggal hanya beberapa jarak dari rumah saya. Semasa kecil, Fikar merupakan salah satu teman akrab yang kerap mencari masalah di berbagai tempat. Ia gemar tawuran. Bahkan ia juga pernah berkelahi dengan tetangganya hanya karena tidak diajak untuk minum-minum anggur di depan masjid.

Siang itu Fikar tampak beda sekali. Sangat beribawa. Namun, ketika sudah masuk di pertengahan ceramah sekelebat saya terganggu dengan suaranya yang berat itu.

"Kafir, kafir, mereka kafir," ucap Fikar dengan suara lantang.

Fikar terus berteriak kafir dan menyudutkan orang-orang yang berbeda pilihan politik dengannya. Aneh sekali.

"Takbir, Takbir," lanjut Fikar, matanya berkeliaran menatap makmum.

Saat itu makmum shalat jumat juga ikut berteriak mengikuti Fikar.

"Takbir," katanya, menggema di ruangan masjid.

"Allahu Akbar, Allahu Akbar," gaduh sekali siang itu.

Saya terkejut. Baru kali ini menyaksikan seorang khatib membacakan khutbah shalat jumat penuh dengan kebencian.

Lebih parahnya lagi makmum shalat jumat kala itu juga sependapat dengan ceramah yang dibawakan oleh Fikar.

Saya sangat kecewa apa yang sudah disampaikan oleh Fikar siang itu.

Ibadah shalat jumat pun berakhir. Jamaah berebut makanan dan minuman yang sudah disediakan oleh panitia. Rohim menghampiri saya dan mengajak untuk menemui Fikar.

"Ustadz, lihat, aku sedang bersama siapa?" tanya Rohim kepada Fikar.

Fikar memeluk saya. Kencang sekali. "Kamu masih ingat jalan pulang?" tanya Fikar "aku pikir sudah melupakan kita."

Sekali lagi, saya dan Fikar berpelukan. "Masih ingat, aku rindu keluarga, juga kalian," jawab saya "tadi aku menyaksikan kamu membacakan khutbah."

Saya mencoba mendorong Fikar untuk menjelaskan maksud dari khutbah yang dibacakannya. Fikar beranggapan bahwa yang berbeda pilihan politik atau tidak sependapat dengannya ialah orang-orang kafir. Lalu ia membacakan hafalan panjang kepada saya.

"Banyak kelompok orang yang ingin membuat islam tidak berdaya. Kita tidak boleh diam. Kita harus lawan mereka," kata Fikar mengepalkan tangan.

"Siapa orang-orang itu?" tanya saya.

"Mereka yang tidak seiman dengan kita atau ada lagi seorang muslim yang mendukung mereka," jawab Fikar.

Dongkol mendengar jawaban seperti itu seketika saya memotong penjelasan Fikar.

"Memberi label kafir kepada orang lain seperti mencoba mengepalkan air di sumur yang kotor. Toh kamu tidak bisa menggapai wujudnya. Cara berfikir kamu amat sangat dangkal."

Rohim mengambil bagian pembicaraan dengan cara mengingatkan bahwa kita baru saja bertemu selama lima tahun berpisah. "Kesempatan ini jangan di isi dengan pertikaian," kata Rohim.

Kami sepakat untuk memberhentikan percakapan soal kafir. Saya ingin hubungan kami baik-baik saja dan tidak ingin saling memusuhi hanya karena saya mendorong Fikar untuk menjelaskan ceramahnya.

Uki menghampiri kami bertiga. Ia tidak tahu apa yang telah kami bicarakan dan tiba-tiba Uki mencoba mengingat-ingat tingkah laku kami semasa kecil. Dalam hati saya, Alhamdulillah. Berkat Uki suasana kembali cair.

"Pada saat Fikar baru saja mempunyai kekasih untuk pertama kalinya," kata Uki "mereka saling berciuman di hadapan aku, gila kan, seketika wanita itu meninggalkan Fikar begitu saja. Wanita itu sadar bahwa sebelum berciuman aku dan Fikar beres menenggak jeruk liar."

Wajah Fikar merah seperti pantat bayi. Selebihnya? Kami tertawa tergelak-gelak.

Kenangan masa kecil itu terus membisiki telinga saya. Lalu mengajak ke suatu tempat yang mungkin sudah tidak ada keberadaannya. Saya tidak bisa memastikan apakah mereka masih memelihara gagasan yang serupa. Meskipun begitu, mereka tidak membuat bosan, diceritakan atau menceritakan.

Mungkin saat ini sudah menjadi hal biasa bagi seseorang dalam memberikan label kafir kepada orang lain. Saya saja tidak tahu nasib saya akan seperti apa. Ini malah dengan mudahnya menentukan nasib seseorang. Bayangkan, hanya berbeda pilihan politik bisa disebut sebagai seorang kafir.

Padahal seorang ulama pun cukup berhati-hati untuk memberi label kafir kepada sesama muslim. Sebenarnya dari ucapan mengkafirkan seseorang itu ada anggapan bahwa saya lebih baik dari dia : lebih suci, lebih beriman dan pasti masuk surga ketimbang dia.

Sebaiknya kita sebagai manusia harus merenung kembali apa yang sudah kita perbuat. Jangan sampai mendahului Tuhan hanya karena kita menentukan keimanan orang lain. Semestinya kita dapat hidup secara damai tanpa memberikan label kafir kepada siapa pun dan menyadari bahwa hal tersebut baik untuk kita amalkan.   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun