Mohon tunggu...
H.I.M
H.I.M Mohon Tunggu... Administrasi - Loveable

Hanya orang biasa yang memiliki 1 hati untuk merasakan ketulusan, 1 otak untuk berpikir bijak dan 1 niat ingin bermanfaat bagi orang lain | Headliners 2021 | Best in Specific Interest 2021 Nominee

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Pantun dan Seberapa Besar Usaha Kita Melestarikannya

24 Januari 2022   10:28 Diperbarui: 24 Januari 2022   10:31 1605
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tradisi Berpantun Di Salah Satu Upacara Pernikahan | Sumber Situs RRI

Kereta bergerak ditarik kuda
Kuda berlari dikejar angsa
Hari ini Santun edisi berbeda
Perkuat pantun sebagai budaya bangsa

Hari minggu menonton kartun
Semakin seru sambil makan kerang
Jangan hilangkan budaya berpantun
Agar tidak dicuri negara orang

***

Di atas hanyalah sepenggal pantun yang sengaja saya ciptakan untuk memperkuat budaya pantun di masyarakat kita. 

Sejak kecil, berpantun sudah diajarkan oleh tenaga pendidik di sekolah atau bahkan oleh masyarakat sekitar. Saya ingat saat sekolah, guru memberikan tugas membuat pantun dan ternyata terlihat sederhana namun justru rumit. 

Jujur hingga saat ini pun membuat 1 pantun harus berpikir hingga beberapa atau bahkan puluhan menit. Ini karena syarat khusus pantun dibandingkan sastra fiksi lainnya yaitu baris bersajak umumnya sajak a-b-a-b atau a-a-a-a-a. 

Artinya jika terdiri dari 4 baris maka baris pertama akan memiliki kata akhiran yang mirip dengan baris ketiga, baris kedua akan mirip dengan baris keempat. 

Contoh pantun saya pertama dimana kata akhir baris 1 yaitu "Kuda" akan sama dengan Baris Ketiga yaitu "Berbeda" yang sama-sama berakhiran "Da".

Baris pertama dan kedua dianggap sebagai bagian sampiran dan baris ketiga serta keempat akan dianggap sebagai bagian isi. Inilah yang membuat pantun terasa berbeda dan khas dibandingkan sastra lain seperti puisi. 

Sejatinya selain pantun 4 baris, masyarakatkita juga cukup familiar dengan pantun singkat 2 baris seperti :

Barang antik ditarik Andong
Hai cantik, kenalan dong

Punya Ragi diatas loyang
Selamat pagi, Sobat Kompasiana tersayang

Berdasarkan beberapa literatur yang saya baca, pantun merupakan bagian dari sastra lisan maupun tulisan yang mengakar kuat bagi masyarakat nusantara. 

Ada yang menuliskan telah menjadi bagian dari masyarakat melayu namun ada juga yang mengatakan Pantun berasal dari bahasa Minangkabau yang berupa "panuntun" atau diistilahkan ke bahasa Indonesia sebagai penuntun. 



Di atas adalah bagian kecil dimana pantun telah menjadi tradisi budaya dalam masyarakat khusus. Artinya budaya pantun telah menyebar dan menjadi bagian dari tradisi masyarakat nusantara. 

Bagi yang tinggal di sekitar Jabodetabek, kita pasti familiar dengan tradisi Palang Pintu oleh masyarakat Betawi. Tradisi ini yaitu adu berbalas pantun dari perwakilan mempelai laki-laki dan perempuan. 

Disini pantun dijadikan media untuk meyakinkan kepada keluarga mempelai perempuan tentang keseriusan dari mempelai laki-laki serta penyampaian keinginan atau syarat dari keluarga mempelai perempuan kepada keluarga mempelai laki-laki. Tentu tradisi balas pantun ini di dikemas menarik, lucu dan sarat pesan. 

Meski sudah bagian dari budaya kita namun bukan berarti tradisi berpantun terbebas dari tantangan dan peluang terlupakan dikemudian hari. Setidaknya saya melihat ada beberapa tantangan yang harus siap diantisipasi? 

Tantangan 1 : Stigma Pantun Itu Kuno

Tidak dipungkiri masih ada stigma ini di kalangan generasi muda saat ini. Saya pernah iseng meminta sepupu yang masih usia sekolah untuk membuat pantun singkat. Responnya bikin kaget, duh bikin pantun itu susah dan bikin pusing. 

Muncul stigma di kalangan generasi muda, pantun itu terkesan kuno dan kaku. Ini karena syarat pantun dengan struktur khusus membuat orang merasa kesulitan menemukan kata yang pas untuk membuat pantun. 

Disisi lain pantun sarat dianggap kuno karena penuntur pantun biasanya dari kalangan orang dewasa atau orang tua. Isi pantun yang cenderung berupa nasihat, nilai-nilai agama, pantun adat hingga bermakna peribahasa dianggap lebih cocok untuk orang tua. 

Saya senang ketika dalam satu event, Kompasiana mengadakan lomba membuat pantun sebagai bagian dari event tersebut.

Setelah saya kroscek karya yang masuk, nyatanya penulis pantun sangat sedikit bahkan tidak sampai 5 pantun yang ikut. Ini semakin menambah kesan pantun masih sepi peminat. 

Tantangan 2 : Minimnya Pujangga Pantun

Berbeda dengan karya prosa lainnya seperti puisi, pantun memang minim sosok yang memberikan perhatian terhadap sastra ini. 

Kita pasti mengenal sosok Sapardi Djoko Damono, Chairil Anwar, Sutardji Calzoum Bachri ataupun W. S Rendra. Mereka telah dikenal sebagai pujangga puisi dengan karya inspirasi dan bahkan membekas di pembaca. 

Namun ketika saya tanya siapa pujangga pantun? Pasti kita berpikir keras untuk menyebutkan. 

Jika itu ditanyakan ke diri saya sendiri, saya hanya bisa menjawab Pelawak Bang Sapri. Melalui salah satu acaranya di TV Nasional, Bang Sapri sering memberikan pantun jenak dengan ciri khas, "Hey, Penonton! " kemudian muncul respon "Cakep" saat melontarkan kalimat pantun. 

Minimnya pujangga pantun membuat perkembangan pantun terasa stagnan. Jika sastrawan berlomba-lomba menghasilkan karya seperti buku cerpen, novel, antologi puisi namun berbanding terbalik dengan pantun.

Hingga saat ini saya belum menemukan karya pantun dari pujangga tertentu di toko buku. Umumnya yang ada hanya sekedar buku kumpulan pantun sehari-hari. 

Tantangan 3 : Karya Yang Anonim

Berakit-rakit ke hulu
Berenang-renang ke tepian
Bersakit-sakit dahuku
Bersenang-senang kemudian

Kita pasti tahu pantun legendaris ini namun ketika ditanya siapa pemilik pantun ini? Saya yakin kita tidak tahu siapa penutur pertama sehingga terkesan karya anonim. 

Bandingkan jika saya membaca penggalan sastra, "Aku ini binatang jalan dari kumpulan terbuang"

Bagi sastrawan puisi pasti langsung tahu ini adalah karya Chairil Anwar yang berjudul "Aku".

Kondisi anonim bagi karya pantun ini lah yang membuat orang tidak mengenal siapa pencetus gagasan pantun tertentu. Ini karena karya pantun mudah disandur ulang atau diedit sesuai keinginan orang lain. 

Sebagus apapun pantun yang dihasilkan akan susah diingat pencetus awal karena banyak pihak yang telah mengedit atau menyadur ulang isi pantun. 

***

Tantangan ini bisa menjadi penghambat berkembangnya pantun dikemudian hari khususnya di kalangan generasi muda. Butuh upaya lebih untuk mengenalkan serta menjadikan berpantun sebagai sastra yang menarik. 

Karakter Jarjit Dengan Ciri Khas Pantun | Sumber Brilio.net
Karakter Jarjit Dengan Ciri Khas Pantun | Sumber Brilio.net

Serial Upin dan Ipin dengan karakter Jarjit Singh yang hobi membawakan pantun justru melekat di ingatan kita. Jangan sampai seiring waktu, generasi kita mengganggap pantun dari media asing atau justru pantun di klaim oleh negara lain. 

Harapannya kedepan muncul pujangga pantun di tanah air serta pantun kian dihargai dan dinikmati. Salah satunya menjadi bagian dari fiksiana di Kompasiana. Saya senang akhirnya ada juga Kompasianer lain yang mulai aktif membuat pantun di artikelnya. 

Ke Brastagi beli ikan Arwana
Yuk perbanyak lagi, artikel pantun di Kompasiana

Semoga Bermanfaat

--SANTUN (Senin Berpantun)--

#HIM #Chapter_50

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun