Mohon tunggu...
Indra J Piliang
Indra J Piliang Mohon Tunggu... Penulis - Gerilyawan Bersenjatakan Pena

Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara. Artikel bebas kutip, tayang dan muat dengan cantumkan sumber, tanpa perlu izin penulis (**)

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Emil Salim, Sang Revolusioner Sejati!

6 Februari 2021   13:47 Diperbarui: 6 Februari 2021   16:31 797
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apa judul buku dalam ulang tahun Pak Emil yang ke-70 itu? 

"Revolusi Berhenti Hari Minggu". Judul itu lahir dari kebiasaan Pak Emil yang selalu sibuk dari Senin-Sabtu, sejak mahasiswa. Maklum, Pak Emil adalah Ketua Dewan Mahasiswa UI yang pertama (1955-1957). Seingat saya, konsep student government lahir dari prakarsa Mahasiswa Indonesia yang konferensi di Eropa pada tahun 1955. Bahder Djohan adalah salah satu tokoh kuncinya. Konsep itulah yang dijalankan di Indonesia. Bayangkan kesibukan Pak Emil, di tengah situasi nasional dan internasional yang berlangsung di Indonesia ketika mahasiswa, hingga menjadi asisten dosen, dosen muda, hingga guru besar.

Menurut teman dekat Pak Emil, satu-satunya hari Pak Emil tak terlihat di kampus adalah hari Minggu. Rupanya, hari itu Pak Emil menggunakan waktu dengan pacaran. Hari-hari berhenti dalam revolusi individualnya. Begitulah, kekasih hati menjadi halte yang wajib disinggahi. Tak heran, dalam pelbagai nasihatnya, Pak Emil meminta mahasiswa melakukan seluruh aktivitas, tak hanya kuliah atau diskusi.

Lima tahun setelah buku "Revolusi Berhenti Hari Minggu", muncul kumpulan tulisan Gunawan Muhammad: "Setelah Revolusi Tak Ada Lagi". Buku Gunawan berisi catatan selama 33 tahun. Gunawan menukil, mengulas, serta mengukir banyak sekali tokoh, dalam bahasa khasnya yang tajam.

Dua buku itu saya koleksi. Seolah dua buku yang wajib dimiliki oleh "veteran kampus". Selama kuliah, saya mewajibkan tiga buku kepada mahasiswa: "Catatan Harian Seorang Demonstran" Soe Hok Gie, "Pergolakan Pemikiran Islam" Ahmad Wahib, dan "Dari Penjara Ke Penjara" Tan Malaka. Seseorang baru berhak menyandang sebutan sebagai aktivis kampus, setelah membaca tiga buku yang merupakan catatan harian ketiga tokoh itu. Jika tiga buku Gie, Wahib, dan Tan itu berisi Bab Pendahuluan dalam karya akademis, maka dua buku Emil dan Gunawan menjadi Bab Penutup.

Jadi, dalam usia 33 tahun, saya sudah ikut-ikutan "berhenti" dan "tak ada lagi" melakukan revolusi. Deklarasi Pertama saya tak lagi berucap "revolusi" terjadi setelah memilih memiliki kekasih. Tepatnya tahun 1995. Deklarasi Kedua terjadi saat menikah tujuh tahun kemudian. Deklarasi Ketiga, ketika anak pertama lahir. Bagi saya, memiliki kekasih, apalagi istri, punya anak, berarti tak lagi hidup dengan kata revolusi. Kata itu menjadi menakutkan. Hidup tidak berlangsung sendirian. Susunan kehidupan berdampingan dengan manusia-manusia lain. Keluarga adalah pilar yang kokoh guna menghambat keinginan, pikiran, ataupun aktivitas yang berwujud revolusioner.

Begitulah. Saya hidup "normal", tak lagi dibalut idiom-idiom revolusioner. Gairah itu sempat muncul dalam momen menjelang usia 40 tahun. Orang-orang terdekat saya tentu tahu  fase dua bulan bergejolak itu.

***

Seiring pikiran untuk "menembak orang-orang lama di lapangan Monas" (sebagaimana tertulis dalam buku Gie), terdapat juga sejumlah nama yang tak sesuai dengan kriteria itu. Pak Emil, misalnya, memegang pelbagai jabatan selama Orde Baru. Layakkah ia ditembak, sebagaimana kegamangan Gie? Sesuatu yang pernah juga menjadi pilihan kelompok Maximilan Robespierre dalam Revolusi Perancis. Revolusi berdarah yang tak selesai di kalangan kaum aristokrat yang dibawa ke liang guilottine, namun juga menewaskan Sang Revolusioner: Robespierre.

Saya pernah berdiskusi dengan Teten Masduki dan lain-lain.

"Bagaimana kalau bikin Undang-Undang Lustrasi?" kata Teten. Ya, UU yang membatasi aktivitas orang-orang yang menjadi bagian dari rezim lama untuk kembali hadir di panggung kekuasaan rezim baru. Saya tak tahu, bagaimana reaksi Teten setelah saya ingatkan lagi soal ini, sekarang.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun