Mohon tunggu...
Indra J Piliang
Indra J Piliang Mohon Tunggu... Penulis - Gerilyawan Bersenjatakan Pena

Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara. Artikel bebas kutip, tayang dan muat dengan cantumkan sumber, tanpa perlu izin penulis (**)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Nihil Sejarawan, Kabinet Masa Depankah?

30 Oktober 2019   16:48 Diperbarui: 31 Oktober 2019   06:32 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Atau, bahasa ilmiah. Banyak aplikasi di internet atau gadget juga melakukan cara sama. Menerjemahkan bahasa manapun ke dalam bahasa sendiri dengan mudah.

Ibnu Khaldun adalah menteri dari pemerintahan yang saling menelikung kawan seiring. Kedudukan sebagai menteri itu menjadi bahan sorak-sorai buzzer-buzzer zaman itu, hingga kini. Karena Khaldun adalah menteri, Khaldun tentu politisi. Politisi? 

Mana bisa objektif, ilmiah, apalagi humanistik. Khaldun terlalu dekat dengan pusat-pusat kekuasaan. Khaldun tak hidup dalam isolasi bernama pusat-pusat laboratorium ilmu, kampus, hingga organisasi ilmuwan dengan modal selembar ijazah. Apapun, Khaldun adalah sejarawan yang sudah menjadi menteri lebih dari 600 tahun lalu.

Pada saat Khaldun berjibaku dengan keahliannya dalam menulis di Andalusia, belahan utara bumi ini, seseorang yang bernama Prapanca mendapat kedudukan sebagai menteri dengan tambahan sebutan Mpu. 

Mpu Prapanca melayani Kerajaan Majapahit yang mayoritas beragama Budha, dalam puncak-puncak kejayaannya. Pada tahun-tahun yang berdekatan. Mpu Prapanca selalu berada di sisi Raja Hayam Wuruk, Maharaja yang mendapatkan popularitas akibat kerja-kerja orang lain. 

Ekspedisi Mahapatih Gajah Mada-lah yang telah menyatukan kerajaan-kerajaan besar dan kecil dari jejaring Sumpah Palapa. Lebih sedikit darah yang tumpah, dalam upaya menyatukan nusantara yang tentu berbeda dengan kesatuan yang kaku.


Karya Mpu Prapanca menguasai jagat ilmu pengetahuan di nusantara selama lebih enam abad. Kisah-kisahnya dijadikan pegangan sebagai peristiwa sejarah. Buku-buku mpu yang lain digunakan untuk menentang apa yang ditulis Prapanca. 

Rakyat jelata yang telanjur mendengar dari orang lain tentang isi buku Prapanca, malah bersedia bertaruh nyawa demi memegang "peristiwa yang sesungguhnya" dalam buku itu. 

Pendengar cerita orang lain lewat bacaan yang berbeda, lantas "memalsu-malsukan" hingga "menghoax-hoaxkan" peristiwa yang tidak pernah ia dengar, atau tak ingin ia dengar. Sobekan-sobekan buku, dijadikan sebagai tongkat komando perseteruan, konflik, hingga saling merendahkan.

Apapun, kisah Gajah Mada atau Hayam Wuruk jauh lebih menarik bagi siapapun. Ketimbang, kisah Prapanca yang menulisnya. Ada dan tiadanya Hayam Wuruk, sangat tergantung dari ditulis atau tidak oleh para empu. Beberapa tak ingin menulis. Yang lain menulis dengan warisan sakit hati. Hayam Buruk tetap menjadi nama yang buruk, ketimbang dipuja sebagai sosok bijaksana. Begitu juga Gajah Mada, masih ikut disalahkan atas sejumlah peristiwa, terutama Bubat.

Enam abad dari sekarang? Apakah masih ada perulangan pola? Isi dari kisah lebih penting dari pengisah? Sekalipun tak ada sejarawan yang masuk @KaInMaju, upaya bergerak ke hulu adalah perjalanan menuju penguatan peradaban bangsa nusantara di belahan selatan ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun