Mohon tunggu...
Indra J Piliang
Indra J Piliang Mohon Tunggu... Penulis - Gerilyawan Bersenjatakan Pena

Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara. Artikel bebas kutip, tayang dan muat dengan cantumkan sumber, tanpa perlu izin penulis (**)

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Konstitusionalkah Kabinet?

14 Juni 2019   09:18 Diperbarui: 14 Juni 2019   13:01 997
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Dok. pribadi

Cepat atau lambat, kabinet bakal berganti. Baiklah, supaya tidak terlalu lekat dengan urgensi reshuffle kabinet Joko Widodo - Jusuf Kalla, termin waktu lebih diperpanjang. Tentu setelah pelantikan di dalam Sidang Umum MPR RI, pada tanggal 20 Oktober 2019 nanti. 

Kabinet yang bakal menghadapi "serangan" simultan dan bergelombang dari publik yang kecewa. Kita tahu, betapa rapuhnya posisi pimpinan pemerintahan di dalam negara demokrasi pascamoderen sekarang. Baik Perdana Menteri atau Presiden, sama-sama menghadapi tantangan serius. 

Inggris, Perancis, Amerika Serikat, Turki, Russia dan banyak lagi yang lain. Tak ada lagi masa tunggu atau masa jeda, yakni hari pemilihan umum, guna melakukan aksi-aksi protes.

Karena kabinet adalah wajah kolektif dari pemerintahan Jokowi - Ma'ruf, apapun kesalahan atau kelemahan yang terjadi secara individual, akan langsung menampar wajah Presiden dan Wakil Presiden. 

Hampir tidak ada lagi basa-basi, atau lebih tinggi lagi etika politik, guna tak langsung melemparkan kebijakan sektoral kementerian kepada kualitas kepemimpinan Presiden dan Wakil Presiden. Sudah banyak contohnya, sehingga mudah diduga, betapa #SemuaSalahJokowi. 

Mau jalan bagus atau jelek, mau tiket mahal atau murah, mau IHSG turun atau naik. Celah untuk mempersalahkan Presiden dan atau Wakil Presiden selalu tersedia, baik satu sisi, dua sisi, apalagi pelbagai sisi lain dalam meja bundar rapat-rapat kabinet.

Guna menghindari kesalahan yang tak perlu sedari awal, langkah pertama tentulah menguji seberapa kuat sandaran, pegangan ataupun sumber hukum yang membentuk kabinet. 

Apakah kabinet semata-mata soal siapa yang disukai, siapa yang tidak, sebagai bentuk ketundukan kepada Presiden? Benarkah menteri-menteri hanya sekadar pembantu Presiden? Kalaupun hanya sebagai pembantu, derajat kata dari "pembantu" itu sudah mengalami perubahan luar biasa dalam dua dasawarsa ini. 

Semakin banyak tuan dan puan yang bermasalah dengan pembantunya, dengan keberpihakan publik yang hampir 100% kepada pembantu. Sebutan "pembantu" juga semakin disamarkan, digantikan dengan sebutan yang dianggap lebih bermartabat.

Artinya, Presiden sudah tidak lagi leluasa melakukan tindakan apapun kepada para menterinya. Jangankan untuk memecat, bahkan menunjukkan wajah kusut saja sudah bakal "dikerubuti" oleh fans menteri-menteri bersangkutan. 

Bukankah selama kampanye Pilpres, sejumlah mantan pembantu Presiden Jokowi benar-benar menjadi "lawan tanding" yang paling menakutkan bagi para pendukung atau influencer Jokowi? Kisah-kisah yang -- kalau tak lupa diucapkan -- bersifat off the record, dengan mudah menyebar di publik. 

Hampir tak ada ketentuan perundang-undangan yang menyebutkan -- sebagaimana ada di negara lain -- bahwa seorang menteri tidak dibenarkan membicarakan apa yang ia kerjakan, baik ketika menjadi menteri ataupun sesudahnya, jika bukan atas permintaan pengadilan. 

Apalagi kalau yang dibuka ke publik itu adalah kisah perseteruan antara sang menteri dengan kolega dan atau atasannya dalam sidang-sidang kabinet. Dan lebih-lebih yang masuk dalam kategori rahasia.

Ya, tak ada ketentuan itu sama sekali. Administrasi Indonesia begitu terbuka, pun pihak-pihak yang bekerja di belakangnya. Segala jenis informasi kini bisa bernilai publik. Justru yang menyembunyikan informasi dimaksud, bisa dikenai hukuman. 

Tidak perlu publik menjadi dokter gigi, kapanpun dan dimanapun, pejabat-pejabat publik dengan spontan bakal mengangakan mulut mereka ketika ditanyakan tugas dan tanggungjawab mereka. 

Bukan hanya pejabat dengan pangkat lebih tinggi, atau penyidik kepolisian, sebagai pihak yang wajib diberikan keterangan atau laporan pekerjaan. Karena vox populi vox dei, rakyatlah yang menjadi atasan atau tuan dari penyelenggara negara. 

Presiden hanyalah Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, sementara Rakyat adalah pemilik kedaulatan (tahta) tertinggi. Daulat rakyat yang bukan lagi daulat tuanku.

Karena itu, sebelum benar-benar menjadi persoalan, aspek konstitusionalitas kabinet perlu digali, diurai dan dipahami. Sebelum masuk kepada nominasi nama-nama menteri, sebaiknya Presiden Joko Widodo bersama penasehatnya memikirkan secara serius tentang nomenklatur kementerian yang hendak dibentuk. 

Selain itu, bagaimana masing-masing kementerian yang sudah diputuskan itu saling bersinergi dalam struktur yang solid. Struktur pada gilirannya membawa pengaruh kepada kultur kabinet yang berjalan. Tanpa struktur, kultur bisa menjadi kabur dan hancur.

Sebab nomenklatur kementerian itulah yang menjadi mesin utama yang dikendarai Jokowi - Ma'ruf Amin dalam menjalankan armada pemerintahan. 

Sementara para menteri hanyalah asisten rumah tangga pemerintahan atau mirip asisten pribadi sosok-sosok selebriti tanah air yang muncul di layar televisi. Jadi, jangankan siswa-siswa sekolah, bahkan saya juga tidak hafal nama-nama menteri secara keseluruhan. 

Beruntung ada internet, hingga kalau ada yang bertanya, bisa browsing dengan segera. Walau pamor sebagai menteri (kadang) lebih hebat daripada jabatan pemerintahan lain, tetapi secara legitimasi lebih lemah dibandingkan dengan kepala desa yang dipilih secara langsung. Apalagi dibandingkan dengan kepala daerah. 

Walau (terkesan) Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi adalah "atasan" bersama para kepala desa, tetap saja kepala desalah yang kuat secara konstitusional dan politik. Idealnya, justru kepala-kepala desalah yang menjadi "boss" dari Menteri Desa dan PDTT itu.

Dasar hukum keberadaan para menteri terdapat dalam UU Nomor 39/2008 tentang Kementerian Negara. Nama-nama (verbatim) kementerian terdapat dalam Pasal 4 dan Pasal 5. 

Apabila nama-nama kementerian hanya dideretkan berdasarkan isi UU, tentu masing-masing bakal bergerak secara sektoral, oral dan linguistik. Paradigma di balik deretan nama-nama kementerian itulah yang patut diletakkan dengan jelas. 

Bukankah salah satu masalah yang dihadapi dalam sistem kenegaraan kita adalah over regulasi? Tumpang tindih terjadi antar UU, sehingga membawa kepada persaingan tidak sehat antar kementerian dan lembaga, baik di tingkat pusat atau daerah.

Sesuai dengan bunyi Pasal 6, setiap urusan pemerintahan tidak harus dibentuk dalam satu kementerian yang terpisah, baik kementerian yang dituliskan secara tegas dalam UUD 1945, maupun kementerian yang hanya berisi ruang lingkup urusan pemerintahan pusat. Sedangkan sesuai dengan Pasal 15, jumlah keseluruhan kementerian paling banyak 34 (tigapuluh empat). 

Jumlah yang hampir sama dengan total provinsi yang ada di Indonesia. Sementara, anggaran masing-masing kementerian berfariasi, dari ratusan milyar hingga ratusan trilyun. Tulisan mendatang bakal membahas soal ini.

Berdasarkan UUD 1945 dan UU Nomor 39/2008 itu, terdapat empat kelompok kementerian negara.

Pertama, kementerian triumvirat. Nama triumvirat ini dikenal oleh ilmuwan sejarah dan politik sebagai penyebutan tiga kementerian yang menjadi pelaksana tugas presiden dan wakil presiden, apabila keduanya berhalangan sekaligus dalam menjalankan tugas. 

Berhalangan itu bisa bersifat permanen, bisa juga sementara. Yang termasuk kementerian triumvirat ini adalah Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan. 

Ketiga kementerian itulah yang barangkali bisa disamakan dengan "penguasa rahasia negara" yang belakangan dibahas terkait disain mesjid. Eksistensi negara bisa hilang, apabila ketiga kementerian ini tidak ada. 

Dalam bentuk pemerintahan yang masih sederhana, kepolisian berada di bawah Kementerian Dalam Negeri, tentara berada di bawah Kementerian Pertahanan, dan badan intelijen berada di bawah Kementerian Luar Negeri.

Kedua, kementerian yang secara nomenklatur tertulis di dalam UUD 1945. Kementerian-kementerian itu adalah agama, hukum dan hak asasi manusia, keuangan, pendidikan, kebudayaan, kesehatan, sosial, ketenagakerjaan, perindustrian, perdagangan, pertambangan dan energi, pekerjaan umum, transportasi, informasi, komunikasi, pertanian, perkebunan, peternakan, kelautan, perikanan, transmigrasi dan kehutanan. 

Desa, misalnya, tidak berada di dalam UUD, tetapi dalam UU Nomor 6/2014 tentang Desa.  Apabila setiap UU dibuatkan kementeriannya, sudah pasti celakanya lebih dari tiga-belas.

Ketiga, kementerian yang dibentuk guna melakukan penajaman dan sinkronisasi program. Sebetulnya, di sinilah terletak ruang gerak kelembagaan bagi perwujudan visi, misi dan program dari presiden terpilih. Misalkan, Pak Jokowi meminta masukan terkait kelembagaan yang berhubungan dengan investasi. 

Dalam Rapat Tim Quality Assurance Reformasi Birokrasi RI yang saya ikuti, sejumlah opsi dimunculkan. Saya sendiri setuju dengan pembentukan Kementerian Investasi, asalkan digabungkan dengan Kementerian Koperasi dan/atau Usaha Kecil dan Menengah. Bisa saja namanya nanti Kementerian Investasi dan Koperasi.

Dalam kategori ketiga ini, selama ini sudah ada Kementerian Bappenas, Menteri Sekretaris Negara, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Menteri Sekretaris Kabinet, Menteri Pemuda dan Olahraga, Menteri Perhubungan, Menteri BUMN, Menteri Pariwisata, Menteri Agraria, Menteri Lingkungan Hidup, Menteri Perempuan dan Anak, dan lain-lain. 

Kementerian yang bisa saja dibentuk untuk satu-dua tahun, lalu setelah itu ditiadakan. Bisa saja begitu. Guna penguatan sumberdaya manusia, bisa saja dibentuk Kementerian SDM dan Vokasi.

Keempat, kementerian koordinator. Terus terang, saya agak kesulitan "membaca" teks yang menjadi dasar bagi keberadaan kementerian koordinator ini. 

Saya lebih cenderung menggabungkan dengan kelompok ketiga, yakni kementerian yang bertugas melakukan sinkronisasi program antar kementerian. Dua orang "abang" saya berkelahi di media, terkait dengan impor bawang putih. 

Yang satu merasa sudah dibahas dalam rapat kementerian koordinator, sehingga bisa langsung dieksekusi. Masalahnya, terdapat sejumlah regulasi yang potensial dilanggar, misalnya terkait persaingan usaha tidak sehat atau kewajiban penanaman sebesar minimal 5% dari kuota impor yang diberikan. 

Kalau Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian kesulitan menjembatani program kementerian/lembaga/badan yang menjadi tanggungjawabnya: buat apa kementerian itu ada? Contoh yang lain, bagaimana Menteri Pertahanan seakan menjadi independent variable dalam nomenklatur Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan terkait persoalan kerusuhan 21-22 Mei 2019 lalu?  

Uraian singkat ini hanya sebagai pengingat, agar Presiden Jokowi lebih teliti lagi dalam menyusun kabinetnya. Soal nama-nama, Presiden Jokowi. Tapi dalam masalah nomenklatur ini, agar tak menjadi persoalan di kemudian hari di zaman yang penuh curiga ini, supaya betul-betul dipikirkan. 

Pun -- mohon maaf -- terkait posisi kelembagaan Kantor Staf Kepresidenan. Sembari menunggu Tim Hukum pimpinan Prof Dr Yusril Ihza Mahendra menyiapkan kalimat-kalimat hukum yang nikmat dicerna guna menangkis Tim Hukum pimpinan Bambang Widjajanto dalam persidangan yang singkat, sebaiknya Presiden Jokowi menyiapkan Tim Segitiga Hukum guna menggali persoalan konstitusionalitas kementerian ini. 

Kenapa segitiga lagi? Ya, dari pihak Jokowi-Ma'ruf sendiri, dari Tim Kampanye Nasional, dan dari civil society yang minimal punya keberanian untuk mengatakan apapun dengan waktu yang tentu dibatasi. Bersitegang urat leher di hulu, toh tidak mengendorkan nyali di hilir kan?

Jakarta, 14 Juni 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun