Sejak tahun 2017, saat sistem zonasi pertama kali diterapkan dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPBD), kebijakan tersebut selalu menuai kontroversi hingga hari ini. Banyak pihak mulai dari siswa, orang tua, hingga pemerintah daerah merasa dirugikan dengan adanya aturan yang mendisrupsi cara menikmati fasilitas pendidikan formal yang diselenggarakan oleh pemerintah.
Nilai Ujian Nasional (UN) tidak lagi menjadi syarat seleksi penerimaan siswa baru melainkan jarak tempat tinggal ke sekolah yang menjadi prasyarat utama. Protes keras dilontarkan oleh mereka yang merasa merasa memiliki nilai tinggi dan merasa berhak untuk bersekolah di sekolah yang selama ini dianggap unggulan / favorit.
Problematika Pendidikan Indonesia
Ada dua masalah besar yang melatarbelakangi diterbitkannya aturan zonasi ini:
Akses
Berdasarkan data BPS sejak tahun 2014, peningkatan Angka Partisipasi Murni (APM) yaitu proporsi anak sekolah pada satu kelompok usia tertentu yang bersekolah pada jenjang yang sesuai dengan kelompok usianya, untuk tingkat SD hanya 0,77 persen, untuk tingkat SMP hanya 0,87 persen, dan untuk tingkat SMA sederajat 0,92 persen saja. Jumlah yang sangat kecil (semua jenjang dibawah 1 persen) apabila dibandingkan dengan dana yang digelontorkan untuk program-program peningkatan akses pendidikan seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP).
Mutu
Pada pemetaan kualitas pendidikan tingkat internasional, Indonesia menempati sejumlah posisi buncit. Peringkat Indonesia pada Programme for International Student Assessment (PISA) berada di urutan 10 terbawah sejak tahun 2000. PISA mengukur tiga kemampuan yakni matematika, sains dan membaca bagi siswa yang berusia 15 tahun. Begitu juga untuk peringkat pada Trends in International Mathematics and Science Study (TIMS) menempati posisi 40 dari 42 negara.
Pada pemetaan The Learning Curve Indonesia menempati posisi 40 dari 40 negara. Kalah jauh dibandingkan negara-negara tetangga kita. Laporan dari UNESCO menyebutkan hanya 1 dari 1.000 orang Indonesia yang memiliki minat baca serius yang berakibat tingkat literasi bangsa Indonesia menduduki peringkat 60 dari 61 negara menurut kajian dalam World's Most Literate Nations dari Central Connecticut State University.
Senada dengan kajian internasional, data yang terpampang dalam situs Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik) - Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) dari hasil Indonesian National Assessment Programme (INAP) menunjukkan bahwa hanya sedikit anak Indonesia yang menguasai mata pelajaran pada level baik yaitu matematika 2,29 persen, membaca 6,06 persen, dan sains 1,01 persen. Sementara dalam level penguasaan kurang, matematika 77,13 persen, membaca 44,83 dan sains 73,61 persen. Sisanya berada pada level cukup.
Kebijakan Zonasi sebagai Solusi
Albert Einstein pernah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kegilaan adalah melakukan hal yang sama dan berulang-ulang tetapi mengharapkan hasil yang berbeda. Inilah yang menjadi dasar kebijakan zonasi diterbitkan. Sebuah perubahan dalam kebijakan pendidikan memang sangat diperlukan.
Fakta menunjukkan bahwa kondisi saat ini sekolah negeri yang bebas biaya itu, ternyata didominasi oleh siswa dari golongan masyarakat ekonomi menengah keatas karena PPDB menggunakan nilai UN sebagai syarat seleksi. Sedangkan siswa dari golongan masyarakat ekonomi menengah kebawah justru harus bersekolah di sekolah berbayar (swasta) atau tidak sekolah sama sekali. Sungguh suatu keadaan bernegara yang seakan anti Pancasila, karena tidak diwujudkan adanya suatu keadilan sosial.
Kondisi sekolah swasta yang diisi oleh siswa dari golongan menengah kebawah juga sangat memprihatinkan mutunya. Mereka harus hidup dengan dana BOS saja padahal Kemdikbud sudah berhitung bahwa dana BOS tidak mencukupi dalam membiayai kegiatan pendidikan, oleh sebab itu disebut bantuan. Di sekolah-sekolah inilah kita akan menemui guru-guru yang penghasilannya minim yang didukung oleh sarana dan prasarana yang sangat minim pula. Keadaan ini yang sedikit banyak berkontribusi pada rendahnya mutu pendidikan Indonesia.
Persepsi dikalangan masyarakat tentang adanya sekolah negeri yang memberikan pelayanan lebih baik dari sisi kualitas guru, kualitas pembelajaran, dan kualitas sarana prasarana harus diluruskan. Hal tersebut adalah kondisi masa lampau saat masyarakat masih harus membayar demi bersekolah di sekolah negeri.
Saat ini kondisinya sudah berubah, semua biaya berasal dari pemerintah tanpa ada pungutan dari masyarakat sama sekali, guru-guru mendapatkan penghasilan menggunakan paket remunerasi yang sama, sarana dan prasarana sepenuhnya juga diberikan oleh pemerintah, beberapa daerah juga kerap merotasi guru / kepala sekolah sehingga mereka tidak hanya bekerja disatu tempat saja.
Dengan demikian seharusnya semua sekolah negeri memiliki standar pelayanan yang sama. Sama seperti standar pelayanan di Kelurahan atau Kepolisian, untuk seluruh Indonesia memiliki standar yang sama. Jika ada perbedaan, justru yang menjadi tanda tanya besar dan harus menjadi bahan evaluasi pemerintah agar dalam membuat program kerja untuk seluruh sekolah tidak boleh ada yang dibedakan. Suatu keanehan bagi pemerintah daerah yang bersikeras ingin mempertahankan status unggulan dibeberapa sekolah negeri dalam kendali mereka. Adanya kasta pada sekolah negeri rentan dengan praktik jual beli jabatan, jual beli bangku, pungli, dan permainan anggaran.
Masyarakat juga tidak perlu merasa rugi dengan prestasi yang sudah dicapai buah hatinya tetapi belum mendapatkan tempat di sekolah negeri. Prestasi tidak hanya digunakan untuk mencari sekolah, jadikan kisah hidup Jack Ma, tokoh sukses global yang berkali-kali tidak diterima di perguruan tinggi sebagai motivasi. Zonasi sendiri menyediakan kuota untuk para siswa berprestasi.
Untuk itu sebagai warga negara yang mengaku Pancasilais, kebijakan zonasi ini perlu didukung sepenuhnya. Lupakan egoisme pribadi, wujudkan masyarakat Indonesia yang berbudi luhur dan berkarakter baik dengan memberikan kesempatan bagi seluruh anak Indonesia untuk bersekolah.
Bagi masyarakat yang mampu, masih ada pilihan sekolah swasta yang wajar menjadi sekolah unggulan karena bisa memberikan pelayanan yang berbeda antara satu dengan lainnya. Kebijakan ini adalah tindakan nyata dari usaha mencerdaskan kehidupan bangsa yang merupakan amanat konstitusi.