Mohon tunggu...
Indra Rahadian
Indra Rahadian Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Swasta

Best In Fiction Kompasiana Award 2021/Penikmat sastra dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Ketika Dunia Redupkan Tawa

15 Oktober 2022   18:31 Diperbarui: 17 Oktober 2022   22:02 1029
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi perempuan di tepi jalan.| Foto: onebowl by Pixabay

Malam dingin. Di rumah makan di tepi jalan, Maya terlihat murung. Matanya menatap tulang-tulang ayam yang ia taruh di bawah meja. Namun kucing putih yang bermanja di kaki perempuan itu, tak menyentuhnya sama sekali. 

"Apakah kamu tak lapar, Pus?" 

Di seberang rumah makan, bocah lelaki berbaju lusuh menatap cemburu. Belum lama ia bernyanyi di depan Maya. Namun hanya dibayar telapak tangan.

"Kucing itu terbiasa makan enak, mana mau dikasih tulang ayam," ucapnya lirih, sembari memegang perut imutnya dan melangkah pergi. 

Roni, pemilik rumah makan menghampiri Maya. Ia mengambil kucing putih, mengelus dan memasukannya ke dalam pet carrier berwarna biru muda. "Kau tahu, kucing ini sangat manja." 


"Peliharaanmu, Bang Roni?" tanya Maya. 

"Investasi," jawab Roni sambil tersenyum. 

Malam itu, pelanggan yang datang tak begitu ramai. Di hari pertama Maya bekerja, di rumah makan milik Roni. Lembaran baru kehidupan ditulis ulang. Tak banyak kesempatan, selepas bebas dari penjara. Dan uluran tangan Roni sangatlah berharga. 

Maya telah membayar kesalahan masa lalu di balik jeruji besi. Namun banyak hal yang ia sesali. Vonis delapan tahun masa tahanan, merenggut seluruh kebahagiaan dalam hidupnya. 

"Beli nasi goreng, Mas Roni. Dibungkus," seorang nenek menurunkan karung berisi botol plastik dari punggungnya. Dengan tangan gemetar menyodorkan lembaran uang lecek kepada Roni. 

"Baik, Mbok. Tunggu sebentar," Roni mengambil uang dari tangan nenek tersebut, dan memberikan kode kepada Maya yang tengah duduk di dekat dapur. Namun Maya masih terpaku. 

Hingga Roni kembali menghampiri Maya, memintanya memasak nasi goreng untuk pelanggan. Dan Maya bergegas melangkah ke dapur. "Satu bungkus nasi goreng spesial segera datang, Bang Roni," ucapnya riang. 

Roni sebenarnya masih khawatir pada kondisi Maya. Perempuan itu terkadang larut dalam lamunan. Ia paham trauma mendalam takkan sembuh seketika. Dan bukan cuma soal waktu, tetapi bagaimana cara orang-orang di sekitar memperlakukannya. 

Namun saat melihatnya memasak, Roni merasa Maya begitu menikmati. Paras wajahnya tenang, dan satu-satunya kecemasan hanyalah soal rasa yang harus disesuaikan. Kadang ia terlalu banyak menambahkan garam. 

**

Maya tengah memotong bawang putih, dan tanpa sengaja ujung pisau menggores telunjuk kiri. Ia terkesiap. Dan refleks menempelkan irisan bawang tersebut pada luka. Perih. Namun darah tak lagi menetes. 

Hingga saat Maya membersihkan tetesan darah, iapun terjerat pada lamunan. Noda, luka, dan kengerian. Peristiwa kelam dari masa lalu menyeruak di dalam benak. Raganya bekerja. Namun jiwa membeku. 

Di malam jahanam itu, Maya tengah berjibaku menenangkan buah hati dalam dekapan. Tangisan bayi merah pecah bersama pekik halilintar dan deru hujan.

Hingga suaminya pulang dalam keadaan mabuk, membanting daun pintu dan berteriak-teriak. Sorot mata merah darah, lelaki itu menatap Maya penuh kebencian. 

"Jadah itu bukan anakku!" ribuan umpatan dan tamparan meluncur setelahnya. Maya hanya dapat meringis dan menangis. Mendekap erat sang bayi, agar tak terlepas dari pelukan. 

Hingga kedua tangan kekar mencoba mencengkeram si buah hati. Maya panik. Tanpa pikir panjang, ia meraih gunting di bawah bantal. Dan mengayunkannya tepat di leher si pemabuk. Lelaki itupun ambruk. 

Air mata Maya mengalir deras. Mati-matian ia menahan sakit di dada. Menyamarkan kesedihan pada irisan-irisan bawang. Dan dengan nafas tersengal-sengal, ia sekuat tenaga menenangkan diri. "Ada kehidupan yang harus dibenahi. Dan ada pekerjaan yang harus dituntaskan."

"Mbok Jum, ini pesanannya. Nah, dan ini buat jajan cucu Mbok di rumah," Roni menyerahkan sebungkus nasi goreng dan beberapa lembar uang kepada Mbok Jum. 

"Matur nuwun sanget nggih," Mbok Jum menerima pesanan dan uang, seraya merapatkan kedua tangan rentanya. 

Namun saat ingin mengucapkan terima kasih kepada Maya, dadanya seakan tersentak. Ingatan tuanya perlahan-lahan meraba wajah cantik yang tengah terpaku di ujung sana. 

Entah kenapa, Mbok Jum terlihat gelisah. Ia terburu-buru meraih karung, lalu berjalan tertatih-tatih seolah ingin mempercepat langkah. Dan rasa cemas tergambar jelas di raut wajahnya. 

**

Bocah lelaki berbaju lusuh berjalan lemas memasuki pemukiman kumuh. Melangkah lunglai pada gang sempit, pengap dan gelap. Deretan pintu kayu lapuk dan seng berkarat, menyambut di ujung jalan. 

Ia menyelipkan kecrekan yang terbuat dari tutup botol di sela-sela jendela rumah. Mendorong pintu pelan-pelan. Dan mengendap-endap masuk, lalu berbaring pada dipan bambu yang beralas spanduk partai politik. 

"Ke mana saja kau, Nak?" Mbok Jum yang tengah merapikan botol plastik ke dalam karung yang lebih besar, menyadari kehadiran cucunya di dalam rumah. 

"Bermain, Mbok," jawab sang bocah pelan. Matanya belum terpejam, ia masih menatap ke atas. Menerka bentuk jejak-jejak air di langit-langit kamar. Dan mengalihkan rasa lapar pada khayalan. 

"Makanlah, mbok bawa nasi goreng untukmu!" teriak Mbok Jum, sembari meletakkan bungkusan di atas tikar. 

Bocah lelaki itu sontak terperanjat dari pembaringan. Senyum mengembang, matanya berbinar. Ia tergesa-gesa menghampiri Mbok Jum yang tengah menyiapkan makanan. Rasa lapar yang mendera seharian, akan terbayarkan.

Do'a dilantunkan secepat kilat, si bocah terlihat tak sabar untuk memulai suapan pertama di hari itu. Belum lewat tengah malam, perut kecilnya beruntung dapat menikmati seporsi nasi goreng yang masih hangat. "Enak banget, Mbok," seru sang bocah tak berhenti mengunyah. 

Mbok Jum terpaku menatap cucunya makan begitu lahap. Mungkin tak ada kata-kata maaf yang terucap, karena membiarkan sang cucu merasakan lapar seharian. Namun baginya, bergerak jauh lebih baik daripada diam meratapi nasib. 

Dan tanpa aba-aba, air mata Mbok Jum mulai menetes. Haru. Dalam benaknya menerka, apakah kenikmatan nasi goreng yang ia bawa disebabkan perut kecil cucunya yang lapar, ataukah karena makanan itu dimasak oleh ibu kandungnya sendiri?

***

Cerita ini hanya fiktif belaka, kesamaan nama, tokoh dan tempat hanyalah kebetulan semata. 

Indra Rahadian

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun