Mohon tunggu...
Indra Rahadian
Indra Rahadian Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Swasta

Best In Fiction Kompasiana Award 2021/Penikmat sastra dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Resolusi Martono

23 Desember 2021   10:41 Diperbarui: 23 Desember 2021   10:47 734
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi parodi teori evolusi (Foto jplenio Via Pixabay)

Sudah tiga hari Martono mengurung diri di dalam kamar. Bila kemarin malam masih terdengar suara ocehannya, kini suasana benar-benar senyap. Dari balik pintu kamar, Maimunah menatap resah. Mengelus dada, memendam gelisah. 

"Sebelum aku teriak minta tolong, jangan pernah kamu buka kamar ini!" Maimunah mengingat kembali, pesan suaminya sebelum masuk kamar. 

Bukan pertama kali, Maimunah dibuat khawatir dengan tingkah polah Martono. Namun kali ini, kelakuan suaminya sudah keterlaluan. Bila bukan karena dinding rumah yang reyot, mungkin sudah dari kemarin pintu itu didobrak. 

Dan bila bukan karena cinta, mungkin sudah ditinggalkannya sejak lama. Terlebih, urusan mengusahakan nafkah dirasa berat sebelah. Maimunah memang lebih pandai mencari uang dari suaminya. 

Meski pun usaha Martono tidak pernah meyakinkan, tetapi Maimunah selalu menghormati suaminya. Dan terkadang, terpaksa menuruti permintaan nyeleneh. 


Pernah suatu ketika, Martono menghilang berhari-hari. Dan saat pulang, tubuhnya penuh lumpur dan bau. Bukannya menjelaskan apa yang terjadi, ia malah meminta istrinya untuk menanam cabe dan tomat. Mungkin, ide itu didapat dari media sosial. 

Setelah cabe dan tomat dapat dipanen seminggu sekali, ia menghilang lagi dari rumah. Kali kedua tidak lama, menjelang malam ia kembali dengan membawa sekarung penuh ikan lele. 

Mereka pun mulai merintis usaha pecel lele. Hingga kondisi ekonomi keluarga mulai membaik. Dan Maimunah bisa sumringah. Biaya mondok anaknya di pesantren, tak lagi ditunggak. 

Namun kesenangan itu hanya bertahan dua bulan. Martono dijemput polisi dan terpaksa mendekam di dalam tahanan selama delapan hari. 

Usut punya usut, sang pemilik kolam lele mengadukannya ke polisi. Martono dianggap mencuri, karena menampung lele-lele yang lepas dari kolam saat banjir melanda.  

Meski pun ia bisa lepas dari tuduhan itu. Karena pemilik lele tidak dapat membuktikan, apakah benar lele yang ditampung Martono adalah lele miliknya. 

Namun ia tak dapat lepas dari tuduhan pemilik lahan. Karena Martono memang menggali parit, di area kebun orang lain. 

Dan Maimunah pun harus kembali pada pekerjaan lamanya. Berjualan gado-gado, dan menjadi buruh cuci di akhir pekan. Meski begitu, ia tak pernah menyalahkan suaminya. 

Baginya, Martono adalah suami yang langka. Tidak merokok, tidak ringan tangan, tidak pernah berkata kasar, dan meski tidak pernah mencukupi nafkah. Namun yang pasti, ia tidak pernah main perempuan. 

Dua belas tahun belakangan, Martono sudah membuktikan, ia suami terbaik dari mantan-mantan suami Maimunah terdahulu. Dan yang lebih penting, ia mau menerima anak sambungnya dengan hati dan tangan terbuka. 

Biar hidup susah, Martono tak rela bila Maimunah harus menitipkan sang anak, pada emak bapaknya di kampung. Meski pun belakangan, sang anak didorongnya mondok di pesantren. 

Di hari ke-empat, kesabaran Maimunah sudah habis. Dengan handuk yang masih melilit di tubuhnya, ia bersiap menggedor pintu dengan gayung. Namun sebelum ia mencapai kamar, tiba-tiba ada panggilan terdengar dari depan rumah.  

"Pakeeet!"

Meski awalnya Maimunah kaget, saat menerima barang-barang elektronik. Mulai dari smartphone, VR, panel surya, dan perangkat aneh-aneh. Namun mengingat riwayat pendidikan, dan pengalaman usaha suaminya, ia merasa cukup masuk akal.

Maimunah pun teringat cerita soal ijazah sarjana teknik yang dibakar suaminya. Hal itu konon dilakukan setelah ia gagal diterima bekerja, karena tak memiliki koneksi atau "orang dalam" di perusahaan idaman.

Martono pernah membuka jasa reparasi radio dan televisi, sebelum gulung tikar karena sepi pelanggan. Ia lalu membuka rental komputer, sebelum kalah bersaing dengan rental PS, dan bangkrut.

Dan terakhir, sebelum luntang-lantung. Ia pernah bekerja memperbaiki komputer, ponsel, dan laptop bekas, di toko elektronik milik saudaranya. Meski pun akhirnya di pecat, karena Martono malah keranjingan bermain game online. 

Di hari berikutnya, Martono sudah mulai keluar kamar. Dan desas-desus pun berhembus di antara tetangga. Kabarnya, suami Maimunah menjalani ritual nyengik, ngepet, dan dugaan-dugaan miring lainnya. 

Bagaimana bisa ia membeli barang-barang mahal, tanpa pernah keluar rumah untuk bekerja?

Beberapa tetangga sampai repot-repot menguntit media sosial milik Martono. Bisa jadi ia punya penghasilan dari aplikasi online semisal YouTube, Instagram atau Tik-tok. Namun hasilnya nihil. 

Di dalam rumah, Maimunah justru semakin gelisah. Tumpukan barang elektronik, tidak lebih berharga dari sekarung beras yang belum dibeli. 

Dan soal omongan tetangga, Maimunah sudah tahan banting. Statusnya sebelum dinikahi Martono, jauh lebih memikat pergunjingan. 

"Mas Tono! Beras lupa dibeli? Jual saja laptop jelek di dalam kamar!" 

Martono meletakkan buku petunjuk manual penggunaan VR Box. Ia pun menghampiri istrinya, dan berbicara pelan, "Nanti saja, Mai. Aku sudah pesan ransum, vitamin, dan suplemen." 

"Apa!?" Maimunah makin kebingungan.

"Mai, kita harus pindah dari dunia nyata ini!" 

"Ke akhirat?!" Teriak Maimunah dengan nada kesal. 

"Di dunia virtual nanti, kesempatan kita hidup layak sangat tak terbatas, Mai!" 

Melihat Maimunah terpaku, Martono mencoba menjelaskan, "Orang di luar sana sudah hijrah ke dunia digital, menambang crypto, dan hidup makmur." 

Seketika, penyakit vertigo Maimunah kumat. Ia terduduk lemas dan batinnya terguncang. Betapa suami yang belasan tahun hidup dengannya, tak disangka punya lompatan pemikiran sejauh itu. 

Kemiskinan bukan perkara nasib, Mai! Tapi kesempatan yang nyata-nyata direnggut dari tangan kita!

Di luar rumah, sekelompok orang asing berpakaian serba hitam bersiap mengetuk pintu. Salah seorang dari mereka menggenggam pistol dari balik jaket, dan tangan kirinya mengapit tanda pengenal bertuliskan Cybercrime Interpol. 

**

Cerita ini hanya fiktif belaka, kesamaan nama, tokoh dan tempat hanyalah kebetulan semata.

Indra Rahadian

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun