Mohon tunggu...
Indra Rahadian
Indra Rahadian Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Swasta

Best In Fiction Kompasiana Award 2021/Penikmat sastra dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Tambatan Hati

5 September 2021   13:03 Diperbarui: 5 September 2021   13:05 730
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ornamen jangkar kapal (Gambar: Tatutati Via Pixabay) 

Hingga dentuman terdengar keras dari bawah geladak. Kami paham lambung kapal telah jebol. Kebocoran tak mungkin terbendung. Kami sudah berada di atas sekoci. Meninggalkan kapal yang karam dan terbelah dua. 

Di Samudera Hindia. Di tengah badai. Tiga buah sekoci terombang-ambing di lautan. Dihempas gelombang. Harapan akan kemakmuran, tenggelam bersama kapal dan seluruh muatan di dalamnya. 

Aku menatap wajah-wajah muram dan putus asa di bawah cahaya red flare. Dua sekoci lainnya sudah tak terlihat lagi. Dan wajah-wajah itu semakin resah. 

Mereka akhirnya tumbang satu persatu. Menggigil kedinginan dan tak sadarkan diri. Tak terdengar tangis, tak terdengar rintihan. Hanya ada gemuruh angin lautan. 

Nguyễn Văn Biển, kelasi muda asal Vietnam, memeriksa satu persatu kondisi rekan-rekan. Memastikan keadaan mereka. Hidup atau mati. Tak lama berselang, iapun melarung jasad mereka ke lautan dengan tenang.

Hanya tersisa kami berdua di atas sekoci. Ia terdiam dan menatapku dalam-dalam. Hingga senyuman dari wajahnya mengembang. Nguyễn Văn Biển berdiri di atas sekoci. Menatap jauh pada kegelapan. 

Ia menarik nafas panjang dan berkata, "Good luck, brother!" Kemudian ia terjun bebas ke samudera luas. Meninggalkan aku sendiri, terombang-ambing di lautan. 

Ketakutan terbesarku saat ini, ada pada diri sendiri. Hipotermia, depresi dan halusinasi. Dan kekhawatiran itu benar-benar terjadi. Pandangan menghitam dan detak jantungku seolah berhenti. 

"Bangunlah!" 

Terik mentari membakar wajahku. Mataku terbuka, dan seseorang tengah mencoba memberiku minum. Menyiram tubuhku dengan air tawar dan ia tersenyum, setelah melihatku terbangun. 

Nelayan tua telah mengangkat tubuhku dan merebahkan di atas sampan miliknya. Ia menyelamatkan hidupku. Namanya Makarra, belakangan kutahu ia bukan orang sembarangan. Beberapa orang di dermaga, menyapanya dengan panggilan Daeng. 

Aku masih menerka-nerka tengah berada di mana. Tak mungkin aku berada di Sulawesi. Seharusnya aku terdampar di Kepulauan Andaman atau Aceh. Namun perkiraan itu meleset. Ternyata kapal kami terhempas jauh ke selatan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun