Mohon tunggu...
Indra Rahadian
Indra Rahadian Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Swasta

Best In Fiction Kompasiana Award 2021/Penikmat sastra dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Tambatan Hati

5 September 2021   13:03 Diperbarui: 5 September 2021   13:05 730
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ornamen jangkar kapal (Gambar: Tatutati Via Pixabay) 

Daeng Makarra berkata, aku berada di pantai barat Sumatera. Tak aneh, orang-orang Bugis memang banyak menghuni teluk dan tanjung di kepulauan Indonesia. Biasanya, mereka mendirikan perkampungan nelayan. 

Hari berganti, dan kondisi tubuhku sudah pulih. Aku meminta Daeng Makarra untuk menyerahkanku pada Polisi. Aku ingin pulang. Mimpi-mimpi tentang Marni dan anak-anak kami selalu datang di tiap malam. 

Namun Daeng Makarra menahanku dengan berkata, bahwasanya orang tanpa identitas sepertiku akan kesulitan lepas dari hukuman. Terlebih, Polisi sudah menangkap sekelompok penyelundup dari Bangladesh yang terdampar di Bengkulu. Dan ia tahu, aku adalah bagian dari mereka. 

Iapun menawarkan pilihan pekerjaan padaku, membantunya di pasar ikan, melaut, atau menjadi buruh di perkebunan sawit. Dan aku memilih semuanya. Membagi waktu untuk dapat membantu Daeng Makarra, sekaligus memenuhi kebutuhan hidupku sendiri. 

Entah dengan apa aku dapat menebus pertolongan Daeng Makarra. Hanya Tuhan yang dapat membalas segala kebaikannya. 

Dua bulan bekerja di perkebunan sawit. Aku menyimpan hasrat untuk pulang ke rumah. Memperhatikan truk-truk pengangkut sawit dan cangkang. Mengumpulkan upah dari bekerja dan di akhir pekan membantu Daeng Makarra di pasar ikan. 

Hingga akhirnya, aku memutuskan untuk menumpang truk pengangkut cangkang sawit ke pulau Jawa. Membawa segala penyesalan dan kerinduan. 

Resah dan merasa bersalah. Marni tak pernah tahu hal yang sebenarnya. Ia hanya tahu aku bekerja sebagai kelasi di kapal ikan di Malaysia. 

Kami sudah menyebrangi Selat Sunda dan tiba di Pelabuhan Merak. Air mataku tumpah, saat melihat anak-anak kecil yang terjun dari kapal Pelni untuk beratraksi. Teringat anak-anakku di rumah. Kerinduanku semakin kental. 

"Nanti ko bekabar sajo kalau nak balik Bengkulu, sampai lusa kito masih ado di Jakarta," ucap sopir truk bernama Wak Rustam. 

"Siap, Wak! Mohon pamit."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun