"Aku mana ngerti mesin, Bang," jawab Marwoto.Â
"Mudah itu! kerja kau bongkar mesin, biar aku yang pasang!" ujar Sitorus.Â
Marwoto hanya tersenyum, ia buru-buru memberikan kunci kontrakan dan membayar tunggakan sewa dua bulan kepada Sitorus. Namun Sitorus hanya mengambil kunci dan menolak untuk menerima uang.Â
Bus malam singgah di tempat peristirahatan. Marwoto turun bersama penumpang lain. Terlihat suasana cukup ramai. Ia berdesakan saat melangkah masuk ke rumah makan.Â
Ketika hendak menyiapkan uang untuk membeli makanan, ia merogoh kantung celana belakang. Dan saat mengetahui dompetnya tak ada, ia pun panik dan berlari menuju bus.Â
Ia mencari keberadaan dompet miliknya. Berharap tertinggal di kursi penumpang. Namun tak ditemukan. Hingga matanya tertuju pada sebuah dompet wanita yang tergeletak di deretan kursi bagian depan.Â
"Duh, Gusti!" Marwoto memegangi kepalanya, seakan-akan mau copot. Nafasnya kembang kempis dan raut wajahnya mendadak pucat. Di dalam benaknya dihujani ribuan pertanyaan.
Malam itu, ia pun harus rela menahan lapar. Uang yang tersisa di kantung celana depan, hanya cukup untuk ongkos angkutan umum ke desa. Bagaimana bisa, si miskin mencuri dari si miskin lainnya. Ia masih tak percaya pada peristiwa yang tengah dialami.Â
Bus malam melintasi wilayah Pemalang. Masih ada dua kabupaten yang harus dilewati Marwoto untuk tiba di kampung halaman. Matanya tak bisa terpejam. Derai air mata menetes di pipi. Malam itu ia tak berhenti berdo'a, "siapapun orang yang mengambil dompetku, semoga dimudahkan jalan hidupnya."Â
Perjalanan hidup tak selalu mulus. Seolah kita diberi pilihan, apakah terus melaju lurus, belok atau menepi.Â
**
Cerita ini hanya fiktif belaka, kesamaan nama, tokoh dan tempat hanyalah kebetulan semata.
Indra Rahadian