Ia pun harus pasrah terdampar di sini. Di pinggiran kota Jakarta. Tempat dimana mimpi-mimpi besar terkubur dan binasa.Â
"Lekas pulang! warung ini bisa ditutup, kalau ada yang lihat kamu nongkrong."
Tatapan Mbok Piah seakan menelanjangi Marwoto. Ia tahu betapa susah hidupnya. Dua belas tahun mencari peruntungan di Ibukota. Namun tak berhasil. Rumah masih ngontrak, jadi korban PHK, dan ditinggal lari istri.Â
"Sebentar saja, Mbok. Aku bosan tak ada teman ngobrol," pinta Marwoto.Â
Mbok Piah mencuci gelas bekas kopi sambil melamun. Masih lekat keinginan kembali ke kampung. Ia rindu keluarga besar yang tidak merindukannya. Ia ingin merasakan udara sejuk membelai kulit keriputnya.
Senandung Marwoto membuyarkan lamunan Mbok Piah. Tembang macapat mengalirkan kesedihan. Air mata tumpah. Harapan seakan sirna. Ia kembali menatap sosok di depan warungnya.
"Kamu kenapa tak pulang kampung?" tanya Mbok Piah.Â
Marwoto terdiam sesaat, menggaruk-garuk kepala dan menarik nafas panjang. Ia kemudian menjawab, "kalau punya ongkos, aku sudah pulang. Di kampung, masih ada secuil tanah warisan untuk digarap, Mbok."
Tangan tua Mbok Piah mengapit kaleng bekas biskuit berwarna merah. Ia membuka tutup kaleng yang sudah dimakan karat. Memilih beberapa lembar uang di dalamnya.Â
"Untuk apa ini, Mbok?" Marwoto kaget, saat Mbok Piah memberikan uang dua juta rupiah kepadanya.Â
"Buat apa kau pulang? ikut aku saja kerja!"Â
Sitorus sedang berusaha membujuk Marwoto supaya tidak pulang kampung. Meskipun ia tahu, tidak mudah untuk bertahan di ibu kota.Â