Desir angin menyapa sepi. Di kursi bambu di bawah pohon. Di halaman rumah tak berpenghuni. Daun-daun kering berserakan, tak ada yang membersihkan. Rumah di kiri-kanan telah lebih dulu kosong ditinggalkan.
Tak terdengar lagi kokok ayam jantan di pagi buta, riuh tawa anak-anak sekolah berlarian, kelakar nakal ibu-ibu di warung sayur, dan deru mesin motor bapak-bapak yang akan berangkat kerja.Â
"Sepi!"
Marwoto duduk termenung. Kopi di tangan sudah habis. Uang di dompet semakin langka. Belum ada panggilan kerja. Meski sekadar memperbaiki atap bocor.Â
Belum ada warga yang ingin merenovasi atau membangun rumah. Sebagian malah sudah pindah. Marwoto menghela nafas seraya memandang sendu pada tiga rumah kosong di depannya.Â
Marwoto beranjak ke arah warung Mbok Piah. Melangkah malas sambil membawa gelas kosong. Ia merogoh kantung celana. Namun tak menemukan apapun di dalamnya.Â
Kembali helaan nafasnya terdengar lirih. "Nasib!" dalam hatinya mengutuk nasib. Perasaan sesal sempat hinggap, teringat saat menolak tawaran bekerja di komplek pemakaman umum. Nyatanya, penggali kubur saat ini sesak permintaan.Â
"Mbok, catet lagi yo!"Â
Mbok Piah mengangguk tanda setuju. Ia paham betul kesulitan orang-orang seperti Marwoto. Jangankan untuk bayar hutang, rokok pun ngeteng. Sedekah secangkir kopi tak akan membuatnya rugi. Biarlah.Â
Sejak pandemi tak jua pergi, warga lebih senang mengurung diri. Sebagian warga sudah mengungsi ke kampung halaman. Bahkan sudah ada yang benar-benar pergi dan tak kembali. Biaya hidup semakin tinggi, sedangkan pekerjaan tak pasti.Â
Dalam hati Mbok Piah, ingin rasanya pulang ke kampung saja. Namun apa daya, keluarga besar sudah tak mau menerima. Kenakalan di masa muda berbekas di usia senja, bak noda hitam yang sulit hilang.Â
Ia pun harus pasrah terdampar di sini. Di pinggiran kota Jakarta. Tempat dimana mimpi-mimpi besar terkubur dan binasa.Â
"Lekas pulang! warung ini bisa ditutup, kalau ada yang lihat kamu nongkrong."
Tatapan Mbok Piah seakan menelanjangi Marwoto. Ia tahu betapa susah hidupnya. Dua belas tahun mencari peruntungan di Ibukota. Namun tak berhasil. Rumah masih ngontrak, jadi korban PHK, dan ditinggal lari istri.Â
"Sebentar saja, Mbok. Aku bosan tak ada teman ngobrol," pinta Marwoto.Â
Mbok Piah mencuci gelas bekas kopi sambil melamun. Masih lekat keinginan kembali ke kampung. Ia rindu keluarga besar yang tidak merindukannya. Ia ingin merasakan udara sejuk membelai kulit keriputnya.
Senandung Marwoto membuyarkan lamunan Mbok Piah. Tembang macapat mengalirkan kesedihan. Air mata tumpah. Harapan seakan sirna. Ia kembali menatap sosok di depan warungnya.
"Kamu kenapa tak pulang kampung?" tanya Mbok Piah.Â
Marwoto terdiam sesaat, menggaruk-garuk kepala dan menarik nafas panjang. Ia kemudian menjawab, "kalau punya ongkos, aku sudah pulang. Di kampung, masih ada secuil tanah warisan untuk digarap, Mbok."
Tangan tua Mbok Piah mengapit kaleng bekas biskuit berwarna merah. Ia membuka tutup kaleng yang sudah dimakan karat. Memilih beberapa lembar uang di dalamnya.Â
"Untuk apa ini, Mbok?" Marwoto kaget, saat Mbok Piah memberikan uang dua juta rupiah kepadanya.Â
"Buat apa kau pulang? ikut aku saja kerja!"Â
Sitorus sedang berusaha membujuk Marwoto supaya tidak pulang kampung. Meskipun ia tahu, tidak mudah untuk bertahan di ibu kota.Â
"Aku mana ngerti mesin, Bang," jawab Marwoto.Â
"Mudah itu! kerja kau bongkar mesin, biar aku yang pasang!" ujar Sitorus.Â
Marwoto hanya tersenyum, ia buru-buru memberikan kunci kontrakan dan membayar tunggakan sewa dua bulan kepada Sitorus. Namun Sitorus hanya mengambil kunci dan menolak untuk menerima uang.Â
Bus malam singgah di tempat peristirahatan. Marwoto turun bersama penumpang lain. Terlihat suasana cukup ramai. Ia berdesakan saat melangkah masuk ke rumah makan.Â
Ketika hendak menyiapkan uang untuk membeli makanan, ia merogoh kantung celana belakang. Dan saat mengetahui dompetnya tak ada, ia pun panik dan berlari menuju bus.Â
Ia mencari keberadaan dompet miliknya. Berharap tertinggal di kursi penumpang. Namun tak ditemukan. Hingga matanya tertuju pada sebuah dompet wanita yang tergeletak di deretan kursi bagian depan.Â
"Duh, Gusti!" Marwoto memegangi kepalanya, seakan-akan mau copot. Nafasnya kembang kempis dan raut wajahnya mendadak pucat. Di dalam benaknya dihujani ribuan pertanyaan.
Malam itu, ia pun harus rela menahan lapar. Uang yang tersisa di kantung celana depan, hanya cukup untuk ongkos angkutan umum ke desa. Bagaimana bisa, si miskin mencuri dari si miskin lainnya. Ia masih tak percaya pada peristiwa yang tengah dialami.Â
Bus malam melintasi wilayah Pemalang. Masih ada dua kabupaten yang harus dilewati Marwoto untuk tiba di kampung halaman. Matanya tak bisa terpejam. Derai air mata menetes di pipi. Malam itu ia tak berhenti berdo'a, "siapapun orang yang mengambil dompetku, semoga dimudahkan jalan hidupnya."Â
Perjalanan hidup tak selalu mulus. Seolah kita diberi pilihan, apakah terus melaju lurus, belok atau menepi.Â
**
Cerita ini hanya fiktif belaka, kesamaan nama, tokoh dan tempat hanyalah kebetulan semata.
Indra Rahadian
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI