Mohon tunggu...
Indra Rahadian
Indra Rahadian Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Swasta

Best In Fiction Kompasiana Award 2021/Penikmat sastra dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kisah Misteri | Anak-anak Hilang

5 Februari 2021   22:29 Diperbarui: 5 Februari 2021   23:52 477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kisah Misteri | Anak-anak Hilang (Dok. Pribadi)

HELA nafas Fandi, terdengar menyayat hati. Mengamen seharian, tak sepeserpun koin ia dapat. Habis suara, habis tenaga. 

Dalam hati berkata, haruskah aku menjadi preman. Persis seperti Doni, karib yang tewas diterjang peluru dua hari lalu.

"Berteriak dan mengancam, dapat uang kemudian."

Fandi melihat ke arah emperan toko, tampak Ucup dan Bono berbaring santai. Seharian kedua bocah itu ia perhatikan, mereka hanya meminta-minta dan bermain di jalanan. 

Entah, darimana asal anak-anak tersebut. Kadang datang bergerombol, kadang terlihat satu dua orang.

Fandi yang lelah, ingin secepatnya tertidur. Iapun berkata, "hei, pulang kalian. Hari sudah malam, aku mau tidur di sini."

"Kami tunggu Mak Amah, belum datang dia," jawab Bono.

"Rusuh kali, Abang. Nih, di sini masih luas," timpal Ucup.

Fandi meletakan gitar tua dan terduduk di samping kedua bocah, ia bertanya, "memang mau pulang kemana, kalian?"

"Bawah kolong jembatan gantung di ujung sanalah, dekat," jawab Ucup.

Ucup bergeser dari posisi berbaring, ia memberikan tempat pada Fandi. Tak lupa, kardus dibagi dua. Setengah untuk dia dan Bono, setengah lagi untuk Fandi.

Tak menunggu lama, Fandi berbaring dan menutup matanya. Ia ingin bermimpi indah, masuk dapur rekaman dan terkenal seperti Iwan Fals. 

Malam yang dingin, tak seperti biasanya. Fandi tak dapat tidur nyenyak, ia mencium wangi melati semerbak. Iapun membuka mata, dan menemukan kedua bocah tak ada di sampingnya.

Dalam remang cahaya, Fandi menyaksikan nenek tua membawa anak-anak berjalan ke arah jembatan. Samar-samar ia melihat nenek tua yang tampak menyeramkan.

Berjalan perlahan, dengan tubuh ringkih dan bungkuk. Rambutnya yang putih kusam, dibiarkan terurai berantakan. Tangan renta, terlihat dituntun salah satu bocah.

Mak Amah dan anak-anak, menghilang ditelan malam. Meninggalkan Fandi, menggigil ketakutan.

Keesokan sore, Fandi kembali bertemu dengan Ucup dan Bono. Penuh rasa penasaran, ia bertanya, "eh, siapa wanita tua yang membawa kalian malam-malam?"

"Apa kalian setoran sama dia?" Lanjut Fandi.

"Taklah, itu dia Mak Amah," jawab Ucup.

"Lalu, kemana dia sekarang," kembali Fandi bertanya.

"Entah, mungkin jadi pemulung. Kami berjumpa Mak Amah, malam saja," ucap Bono.

Semakin penasaran Fandi. Jawaban yang diberikan Bono membuatnya merinding, "berapa banyak, yang tinggal dengannya?"

"Abang ini, macam orang kedai saja. Banyak kali bertanya," timpal Ucup.

Mereka berpisah di seberang kedai, Fandi masuk ke kedai dan mulai benyanyi. Lagu lawas berjudul "Anak Zaman" dan "Kesaksian" milik Kantata Takwa, habis dimainkan.

Hari ini, Fandi mendapatkan hasil. Ia menghitung recehan di trotoar. Hingga, petugas berseragam Satpol PP membawa Fandi dan para tunawisma mengunakan lori ke kantor dinas sosial. 

Fandi terlibat perdebatan dengan petugas, "Pak, saya bukan gelandangan, saya pengamen."

"Gini, Mas. Kamu mending ikut pendataan. Nanti ada pelatihan kerja dan disalurkan kerja, mau?" tawar petugas.

"Pak, tapi bukan hanya saya yang butuh dibantu. Ada puluhan anak jalanan, mereka tinggal di kolong jembatan gantung," ucap Fandi.

"Mak Amah, tolong Mak!"

Subuh dini hari, puluhan petugas mendatangi kolong jembatan gantung. 

Petugas, membawa anak-anak di sana naik ke dalam lori. Terlihat Fandi ikut dengan petugas.

"Mas, kamu bilang mereka ada yang urus? kemana orangnya," tanya petugas.

Fandi mencari Ucup dan Bono di dalam lori, mengajaknya turun sejenak dan bertanya, "dimana Mak Amah?"

"Nah, itu Mak Amah!" Ujar Bono, seraya menunjuk pada ujung jembatan.

"Dimana, Bono?" tanya Fandi, matanya menatap tajam ke ujung jembatan.

Fandi masih mencari sosok Mak Amah, ia merasa heran, tak dapat melihat sosok tersebut.

"Dimana, aku tak nampak!"

Kolong jembatan gantung, tak lagi dihuni anak-anak terlantar. Kini, mereka diberi perhatian oleh warga dan negara. 

Terdidik dan diurus dalam panti sosial, madrasah, pesantren, gereja dan lembaga swadaya masyarakat.

Mak Amah, tak pernah terlihat lagi. Konon, di masa awal pembangunan jembatan. Pernah ada tunawisma yang tinggal di bawahnya, ibu tua dan dua orang anak lelaki. 

Kabar burung berhembus. Mereka sudah meninggal terseret arus sungai saat banjir besar, dua puluh tahun lalu.

**

Cerita ini hanya fiktif belaka, kesamaan nama, tokoh dan tempat hanyalah kebetulan semata.

Indra Rahadian 05/02/21

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun