Mohon tunggu...
Indah Novita Dewi
Indah Novita Dewi Mohon Tunggu... Hobi menulis dan membaca.

PNS dan Penulis

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Kisah Peniti Kecil di Lantai Masjid

26 Maret 2025   11:18 Diperbarui: 26 Maret 2025   11:18 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peniti Kecil di Lantai Masjid (Sumber: pexels/feng zou) 


Allahu Akbar...allahu akbar, gema azan berkumandang. Saya berdiri hendak menegakkan salat. Sebelumnya sempat saya lirik si bungsu di sisi kanan saya. Hmm, helai-helai rambutnya menyembul di balik mukena. Saya tunda takbiratul ihram dan membantu si bungsu membenahi mukenanya.

"Seharusnya kamu pakai jilbab kecil di dalam mukena seperti kemarin," ucap saya.

Setelah memastikan rambutnya tak terlihat, kami berdua buru-buru mengikuti imam menegakkan isya.

Usai salat, kami masih duduk di dalam masjid menanti salat tarawih dimulai. Saya memperhatikan rambut si bungsu mulai menerobos keluar dari batas mukenanya.

"Seharusnya kalau ada peniti kecil, bisa dipeniti di sini," ucap saya menunjuk mukena di bagian dagunya yang agak longgar.

Saya bangkit dan berjalan sambil memelototi lantai masjid yang berbalut karpet. Siapa tahu ada peniti terjatuh dan tergeletak. Saya cari juga di pinggir-pinggir ruangan dekat kardus-kardus minuman dan rak-rak kecil. Nihil.

Terpaksa tiap mau salat kudu ngebenerin rambut si bungsu. Konsekuensi karena mukena yang ia pakai ternyata agak longgar di bagian yang menutup wajah.

Salat tarawih enam rakaat telah kami tunaikan. Masih harus ditambah dua rakaat agar cukup delapan, plus tiga rakaat salat witir atau penutup.

"Ma," bisik si bungsu. Saya menoleh dan melihatnya mengacungkan peniti kecil berbentuk pita warna kuning emas dengan ornamen berlian imitasi. Jadi selain berfungsi sebagai peniti, benda kecil itu juga dapat difungsikan menjadi bros pemanis penampilan.

"Lho, kok? Di mana kamu dapat itu?" tanya saya.

"Di sini," si bungsu menunjuk tepian sajadahnya. Saya melihat bahwa orang yang salat di samping si bungsu sudah berpindah tempat entah kemana. Mungkin peniti itu kepunyaannya.

Sebetulnya seperti jawaban dari Allah nggak, sih? Saya tadi nyari peniti dan tiba-tiba ada peniti - walau entah punya siapa. Ada godaan untuk langsung menyematkannya di bagian dagu pada mukena si bungsu, agar rambutnya rapi. Tapi...

"Kamu letakkan saja di tempatnya semula. Siapa tahu yang punya nanti cari. Kalau nggak ada ambil, kita amankan saja. Kamu pakai."

Kami pun menegakkan salat dan meninggalkan peniti kecil tergeletak di lantai masjid. Namun salat saya malah terdistraksi dengan pikiran-pikiran apakah boleh peniti itu saya ambil? Apakah halal? Bagaimana jika nanti langkah saya di akhirat terhambat oleh peniti kecil yang jelas-jelas bukan milik saya?

Salat tarawih rakaat ke delapan tunai. Usai salam, saya berbisik pada si bungsu, "penitinya biar di situ saja ya? Kan bukan hak kita. Nanti malah dosa kalau kita ambil."

Si bungsu mengangguk setuju. Kami pun bersiap untuk salat witir. Kali ini saya salat dengan hati yang tenang.

Pernahkah teman-teman mengalami dilema yang demikian? Ada kesempatan di depan mata, tapi hati bertarung antara apakah aku berhak atas kesempatan tersebut, atau tidak? 

Peniti kecil hanyalah barang kecil. Harganya di pasar cuma lima ribu rupiah. Tapi apakah karena harganya yang tak seberapa itu lantas boleh menafikan dosa mengambil barang yang bukan hak kita?

Dan bukankah jika kita mengabaikan dosa kecil, pelan-pelan mungkin kita juga akan dapat mengabaikan dosa besar? Naudzubillahimindzalik.

Semoga Allah jauhkan kita dari perbuatan mengambil barang orang lain, memakan hak orang lain, bersenang-senang atas penderitaan orang lain. Aamiin yaa rabbal alamiin

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun