terkadang banyak orang ingin membeli barang yang diminatinya, namun ia kesusahan untuk mendapatkan barang tersebut karna banyak faktor eksternal yang mungkin terjadi.
fenomena inilah yang memunculkan istilah "jastip" dikalangan anak muda. Istilah "jastip" atau "jasa titip" mungkin sudah tidak asing lagi bagi kamu yang sering menggunakan sosial media. jastip adalah keadaan seseorang menawarkan jasa nya sebagai perantara untuk membeli suatu barang dari penjual kepada pembeli.
awalnya, jastip ini digunakan untuk produk dari luar negeri, seiring berjalannya waktu jastip juga digunakan untuk produk dalam negeri bisa dalam kota itu sendiri atau bahkan antar kota seperti produk makanan, minuman, makeup, skincare, baju atau bahkan tiket konser.
Jasa Titip Online
Jasa Titip Online adalah layanan yang memberikan kesempatan bagi seseorang untuk menyerahkan barang kepada orang lain yang akan membelinya. Umumnya, penyedia layanan ini adalah orang-orang yang sedang dalam perjalanan jauh yang memiliki produk viral atau sedang populer dan sulit didapat di semua daerah. Oleh karena itu, pengguna layanan Jastip dapat memesan barang atau makanan yang diinginkan, dan pihak yang menawarkan jasa tersebut akan membeli barang itu dan mengirimkannya kepada pemesan dengan tambahan biaya per produk sebagai bentuk imbalan atas jasanya.
contohnya gini, salsa penasaran dengan rasa sop buah yang lagi viral di tiktok, namun sop buah tersebut susah dijangkau bagi salsa yang jauh dari tempat sop buah tersebut. nah salsa dapat menggunakan layanan jastip ini untuk mendapatkannya dengan mencari orang yang menawarkan layanan jastip sop buah didaerah salsa.
Namun, melihat banyaknya umat muslim yang juga memanfaatkan layanan jastip, apakah fenomena ini telah sesuai dengan prinsip syariah? Â
Secara umum, jastip belanja online diperbolehkan dan sesuai prinsip syariah dengan beberapa syarat dan ketentuan. Jastip dianggap sah karena seseorang bertindak sebagai perantara atau wakil dalam transaksi jual beli dengan imbalan atas jasa yang diberikan. dalam kaidah fiqih muamalah, praktik ini dinamakan "Akad Wakalah Bil Ujrah"
Definisi akad wakalah bil ujrah
Wakalah atau wakilah dalam istilah bahasa berarti perlindungan (Al-Hafidz), kecukupan (Al-Kifayah), tanggung jawab (Ad-Dhamman), atau penugasan (At-tafwidh), yang juga berarti memberikan kuasa atau mewakilkan. Dalam fatwa DSN-MUI dijelaskan, Akad wakalah merupakan suatu perjanjian pemberian kuasa dari muwakkil kepada wakil agar melakukan tindakan hukum tertentu. Di sisi lain, Wakalah bil ujrah adalah pemberian kuasa atau akad wakalah yang dilakukan dengan imbalan berupa ujrah (fee). Sementara ujrah dalam pelaksanaan Wakalah merupakan imbalan (fee) yang diberikan oleh pihak yang diwakilkan kepada yang mewakilkan. Tujuan dari pemberian ujrah dalam wakalah adalah untuk menghargai jasa seseorang yang telah membantu mewakilkan suatu pekerjaan berdasarkan pengorbanan yang dilakukan oleh seseorang yang berperan sebagai wakil.
Jadi, akad wakalah bil ujrah ini bentuk kerja sama yang sangat relevan diterapkan dalam praktik ekonomi syariah modern, karena memberikan ruang bagi seseorang untuk mewakilkan urusan tertentu kepada orang lain yang mumpuni, dengan adanya imbalan yang sesuai. Akad ini bukan hanya mencerminkan prinsip tolong-menolong dalam Islam, tetapi juga menghargai profesionalitas dan keahlian melalui pemberian ujrah (fee) yang adil. Dengan adanya imbalan (ujrah) dalam wakalah, maka akad ini bersifat komersial, berbeda dengan wakalah biasa yang bersifat sukarela. Imbalan tersebut menjadi bentuk penghargaan atas waktu, tenaga, dan risiko yang ditanggung oleh wakil. Karena itu, dalam pandangan penulis, akad wakalah bil ujrah sangat penting untuk memastikan transparansi, kejelasan tanggung jawab, dan keadilan antara kedua belah pihak.
Setelah memahami definisi dan pentingnya akad wakalah bil ujrah dalam praktik ekonomi syariah, maka untuk menjamin keabsahan dan pelaksanaannya secara syar'i, perlu diperhatikan rukun dan syarat yang menjadi dasar sahnya akad tersebut.
Rukun dan ketentuan syarat dalam perjanjian wakalah bil ujrah sesuai dengan fatwa DSN MUI mengenai akad wakalah bil ujrah, meliputi antara lain:
a. Muwakkil adalah orang yang memberikan wewenang. Di sini, Muwakkil harus memiliki kemampuan untuk membayar imbalan dan memiliki otoritas untuk memberi kuasa kepada orang lain.
b. Wakil adalah orang yang menerima kuasa dari Muwakkil. Di mana, Wakil harus mampu menjalankan tugas yang diperintahkan oleh Muwakkil. dan dengan ketentuankedua belah pihak harus memiliki kecakapan hukum yang sesuai dengan syariat dan peraturan yang berlaku.
c. Objek wakalah harus berkaitan dengan hal-hal yang sah untuk diwakilkan, baik itu tindakan atau pekerjaan tertentu yang telah disepakati dan dipahami dengan baik oleh kedua belah pihak, serta wajib dapat dilaksanakan oleh Wakil.
d. Sighah adalah perjanjian wakalah bil ujrah yang perlu dinyatakan dengan jelas agar dimengerti oleh kedua belah pihak, baik secara tertulis maupun lisan, atau melalui isyarat, tindakan, dan dapat pula dilakukan secara daring sesuai ketentuan syariah dan hukum yang berlaku.
e. Ujrah dapat berupa uang atau barang yang memiliki nilai guna, dengan ketentuan bahwa jumlah atau kualitas ujrah harus jelas dan transparan dalam hal presentase, angka, atau perhitungan yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.
Adapun dalil akad wakalah bil ujrah dalam Al-Qur'an (Qs : Al-Kahfi)
"Dan demikianlah Kami bangunkan mereka, agar di antara mereka saling bertanya. Salah seorang diantara mereka berkata, "sudah berapa lama kamu berada (disini)?" mereka menjawab, "kita berada (disini) sehari atau setengah hari." Berkata  (yang  lain  lagi), "Rabbmu lebih mengetahui berapa lama kamu berada (disini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu pergi kekota dengan membwa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, dan bawalah sebagian makanan itu untukmu, dan hendaklah dia berlaku lemah lembut dan jangan sekali-kali menceritakan hal mu kepada siapa pun."
Dari penjelasan mengenai definisi dan ketentuan akad wakalah bil ujrah di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam konteks hukum fiqih Muamalah, itu diperbolehkan. Menjual jasa atau layanan kepada orang lain diizinkan dalam Islam. Mirip dengan jual beli barang dan komoditas, penjualan jasa juga dibolehkan untuk memenuhi kebutuhan manusia sebagai makhluk sosial dan ekonomi, di mana manusia memerlukan layanan dari orang lain. Terlebih lagi, di zaman globalisasi ini, kebutuhan manusia semakin beragam, sehingga permintaan akan jasa orang lain juga semakin meningkat.