Judul Buku : Cinta Terkalang | Penulis : Hamka | Penerbit : Gema Insani Press | Cetakan : ke-1 | Tahun terbit : November, 2019 | Tebal : viii + 140 hlm | ISBN : 978-602-250-659-1
Cinta Terkalang. Begitu judul yang diberi oleh Penerbit Gema Insani. Jika dilihat di KBBI, 'terkalang' berarti 'terganjal' atau ada sesuatu yang menghalangi. Apa yang mengahalangi cinta dua insan? Adat, budaya, orang ketiga ataukah takdir? Sebelumnya, perlu diketahui bahwa novel ini telah dahulu diterbitkan oleh Pustaka Dini, Selangor-Malaysia tahun 2008 dengan judul 'Keadilan Ilahi'.
Di satu sisi saya sangat berterima kasih kepada Penerbit Gema Insani karena telah memberi tahu masyarakat Indonesia bahwa tokoh/ulama kita pernah menulis novel ini. Saya mengetahui, Gema Insani sangat bersemangat untuk menerbitkan karya Buya Hamka. Di sisi lain, saya agak kecewa karena yang menerbitkan pertama kali bukan dari penerbit yang ada di Tanah Air, tempat di mana penulis berasal.
Novel ini sangat kental dengan adat, sebagaimana novel-novel Buya Hamka yang lain. Seorang Adnan begitu dipersiapkan oleh ibunya untuk merantau, dikasih modal awal yang paling urgen. Pertama, nasi sekampir sebagai bekal untuk diperjalanan. Kedua, samba lado sebungkus untuk lauk pauk. Ketiga, tulang punggung sendiri yang harus siap sedia untuk mengarungi kehidupan di perantauan (hlm. 1).
Haruskah Adnan Merantau?
Perantauan yang dilakukan Adnan (19 tahun) dengan maksud untuk mendapatkan modal pernikahan. Ia telah jatuh hati dan bertunangan dengan Syamsiah (16 tahun). Pertunangan antara Syamsiah dengan Adnan tidak terlepas dari persahabatan antara ibu dari Syamsiah (almarhumah) dan ibu Adnan.
Namun, nasib Adnan di perantauan tidak begitu elok. Ia mengalami kerugian akibat dirampok oleh kawanan pencuri yang berjumlah banyak. Oleh sebab itu, ia mengurungkan niat untuk pulang karena tidak ada 'laba' yang akan dibawa pulang.
Di lain sisi, keluarga dari pihak Syamsiah sangat kecewa dengan Adnan. Seharusnya setahun sejak Adnan merantau, ia harus pulang dan segera menikah dengan Syamsiah. Namun apa hendak dikata, takdir berbicara lain. Pantang bagi seorang Adnan pulang tanpa membawa apapun. Kalau ia pulang, tentu akan menjadi aib bagi orang kampung karena tidak berhasil. Adnan mengirimkan surat kepada ibunya di kampung bahwa ia akan pulang setahun lagi untuk dapat menikah dengan Syamsiah.
Namun, Syamsiah sudah berada dalam umur yang patut ketika itu, tidak layak lagi untuk menunda-nunda menikah. Makanya, kalau ada yang datang meminang lagi, hubungannya dengan Adnan diputuskan saja. Mamak-mamak (paman)-nya sudah menjadi malu sebab kemenakannya secantik Syamsiyah tidak lepas jua. Di lain sisi, fitnah tentang Adnan tersebar bahwa ia tidak kehilangan, melainkan tidak ada uang. Dalam adat Minang, jika seorang gadis sudah berada dalam usia yang patut ia harus  segera dinikahkan, bagaimanapun caranya. Sebagaimana pepetah Minang berikut ini:
Gadih gadang indak balaki (perawan tua yang tak bersuami)
Mayik tabujua di ateh rumah (mayat terbujur di atas rumah)