Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Penikmat Kopi

Seorang analis pembangunan desa dan konsultan pemberdayaan masyarakat yang mengutamakan integrasi SDGs Desa, mitigasi risiko bencana, serta pengembangan inovasi berbasis lokal. Ia aktif menulis seputar potensi desa, kontribusi pesantren, dan dinamika sosial di kawasan timur Indonesia. Melalui blog ini, ia membagikan ide, praktik inspiratif, dan strategi untuk memperkuat ketangguhan desa dari tingkat akar rumput. Dengan pengalaman mendampingi berbagai program pemerintah dan organisasi masyarakat sipil, blog ini menjadi ruang berbagi pengetahuan demi mendorong perubahan yang berkelanjutan.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Menengahi Klausul "Tak Tertulis" dalam Kepmendes 294/2025: Sebuah Usulan

1 Oktober 2025   17:02 Diperbarui: 1 Oktober 2025   12:32 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosialisasi Kepmendes 294/2025 Petunjuk Teknis Pendampingan Masyarakat Desa (16/09/2025). (Sumber: youtube.com/@KEMENDESAPDT)

Kepastian hukum dalam tata kelola pembangunan desa adalah fondasi penting yang tidak bisa ditawar. Setiap aturan yang berlaku bagi tenaga pendamping profesional dan pemerintah desa mestinya dirumuskan jelas, transparan, serta mudah diakses. Namun, munculnya klausul “tidak tertulis” dalam Kepmendes 294/2025 menimbulkan pertanyaan serius.

Apakah ia sekadar pengakuan terhadap praktik administratif yang belum terdokumentasi, atau justru membuka ruang tafsir liar? Bila tidak dipagari dengan jelas, klausul ini berpotensi berubah menjadi “pasal karet” yang melemahkan akuntabilitas. Karena itu, perlu ada penjelasan normatif yang menegaskan batas-batas maknanya.

Risiko di Balik Klausul Tak Tertulis

Klausul “tidak tertulis” bisa tampak sepele, namun implikasinya sangat besar. Tanpa definisi jelas, pejabat berwenang dapat menggunakannya untuk menjustifikasi tindakan administratif yang tidak tercantum dalam regulasi resmi. Ini menciptakan ketidakpastian bagi pendamping desa yang bekerja di lapangan.

Kepastian hukum adalah hak, bukan hadiah. Jika standar kinerja didasarkan pada aturan yang tidak pernah disampaikan secara resmi, maka tenaga pendamping profesional berisiko terkena sanksi tanpa dasar tertulis. Situasi semacam ini jelas bertentangan dengan prinsip good governance yang mengedepankan transparansi dan akuntabilitas.

Selain itu, inkonsistensi implementasi menjadi ancaman nyata. Apa yang dianggap sebagai “aturan tidak tertulis” di satu kabupaten bisa berbeda di kabupaten lain. Akibatnya, tenaga pendamping bisa mendapat perlakuan berbeda hanya karena perbedaan tafsir pejabat daerah. Ketidakadilan semacam ini tidak boleh dibiarkan.

Di sisi lain, klausul ini juga membuka peluang konflik. Pendamping atau desa bisa merasa dirugikan oleh aturan mendadak yang tidak pernah disosialisasikan. Ketidakpercayaan terhadap pemerintah pusat bisa menguat, padahal pendampingan desa sejatinya bertumpu pada sinergi dan kolaborasi.

Usulan Penegasan Normatif

Untuk menutup celah multitafsir, diperlukan tambahan penjelasan normatif dalam regulasi. Rumusannya sederhana namun tegas, yakni Pasal Tambahan (Usulan Penjelasan).

Ayat (1): Yang dimaksud dengan “ketentuan tidak tertulis” dalam Keputusan Menteri ini adalah norma, kebijakan internal, etika profesi, atau praktik administratif yang telah: a) disosialisasikan secara resmi oleh Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal; b) didokumentasikan dalam bentuk notulen rapat, surat edaran, surat tugas, atau pedoman teknis internal; dan c) berlaku umum serta bersifat konsisten di seluruh wilayah kerja.

Alasan normatif dari ayat (1) ini adalah untuk membatasi definisi “tidak tertulis” agar tidak liar dan tidak membuka ruang tafsir seenaknya.

Ayat (2): Ketentuan tidak tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dijadikan dasar pemberian sanksi, penilaian kinerja, atau pemutusan hubungan kerja kecuali apabila telah terlebih dahulu didokumentasikan secara resmi dan disampaikan kepada pihak terkait.

Alasan normatif dari ayat (2) ini adalah untuk melindungi tenaga pendamping maupun desa dari sanksi sepihak yang tidak memiliki dasar hukum tertulis.

Ayat (3): Dalam hal terdapat ketentuan tidak tertulis yang bersifat berulang dan berskala nasional, Kementerian wajib menuangkannya dalam bentuk tertulis melalui surat edaran atau peraturan menteri dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak kebijakan tersebut diberlakukan.

Alasan normatif dari ayat (3) adalah untuk mendorong formalisasi, agar “ketentuan tidak tertulis” hanya bersifat transisi sementara sebelum dituangkan resmi.

Ayat (4): Untuk menjamin transparansi, seluruh ketentuan tidak tertulis yang berlaku wajib dipublikasikan melalui media resmi Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, termasuk Sistem Informasi Pendampingan Masyarakat Desa.

Alasan normatif dari ayat (4) adalah untuk memastikan transparansi publik, sehingga tidak ada aturan tersembunyi yang hanya diketahui sebagian pihak.

Ayat (5): Tenaga Pendamping Profesional atau Pemerintah Desa yang merasa dirugikan oleh penerapan ketentuan tidak tertulis berhak mengajukan keberatan melalui mekanisme pengaduan yang diatur oleh Kementerian.

Alasan normatif dari ayat (5) adalah untuk memberi check and balance melalui mekanisme keberatan yang sah, sehingga ada jalur koreksi terhadap penyalahgunaan aturan.

Rumusan ini bukan sekadar tambahan teknis, melainkan pagar etis dan hukum. Ia memastikan bahwa fleksibilitas kebijakan tidak mengorbankan kepastian hukum. Ketentuan tidak tertulis tetap boleh ada, namun tidak bisa digunakan secara sewenang-wenang.

Menuju Tata Kelola yang Lebih Transparan

Usulan penegasan normatif di atas lahir dari kesadaran bahwa regulasi bukan hanya teks, melainkan instrumen keadilan. Klausul tidak tertulis sejatinya dimaksudkan untuk memberi ruang adaptasi. Namun, ruang adaptasi harus dibarengi dengan mekanisme kontrol yang sehat.

Dengan adanya kewajiban dokumentasi, setiap kebijakan internal dapat ditelusuri jejaknya. Tidak ada lagi “aturan bisik-bisik” yang hanya diketahui segelintir orang. Semua pihak—baik tenaga pendamping maupun desa—punya akses yang sama terhadap informasi kebijakan yang berlaku.

Lebih jauh, mekanisme keberatan memberi ruang check and balance. Pendamping desa bisa menyuarakan keresahan mereka tanpa takut dianggap melawan aturan. Sebaliknya, Kementerian dapat memperbaiki kebijakan dengan masukan langsung dari lapangan. Transparansi dan partisipasi menjadi fondasi bersama.

Jika usulan ini diadopsi, Kepmendes 294/2025 tidak hanya menjadi dokumen teknis, tetapi juga simbol komitmen pada kepastian hukum. Dengan begitu, kerja-kerja pendampingan desa tidak lagi dibayangi ketidakpastian, melainkan berlandaskan aturan yang jelas, adil, dan transparan.

Klausul “tidak tertulis” tidak harus dihapus, tetapi harus dipagari. Usulan pasal tambahan ini menjadi jembatan antara fleksibilitas kebijakan dan kepastian hukum. Menengahi dua kutub itu adalah jalan tengah yang bijak, demi tata kelola pembangunan desa yang lebih kredibel dan berkeadilan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun