Alasan normatif dari ayat (2) ini adalah untuk melindungi tenaga pendamping maupun desa dari sanksi sepihak yang tidak memiliki dasar hukum tertulis.
Ayat (3): Dalam hal terdapat ketentuan tidak tertulis yang bersifat berulang dan berskala nasional, Kementerian wajib menuangkannya dalam bentuk tertulis melalui surat edaran atau peraturan menteri dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak kebijakan tersebut diberlakukan.
Alasan normatif dari ayat (3) adalah untuk mendorong formalisasi, agar “ketentuan tidak tertulis” hanya bersifat transisi sementara sebelum dituangkan resmi.
Ayat (4): Untuk menjamin transparansi, seluruh ketentuan tidak tertulis yang berlaku wajib dipublikasikan melalui media resmi Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, termasuk Sistem Informasi Pendampingan Masyarakat Desa.
Alasan normatif dari ayat (4) adalah untuk memastikan transparansi publik, sehingga tidak ada aturan tersembunyi yang hanya diketahui sebagian pihak.
Ayat (5): Tenaga Pendamping Profesional atau Pemerintah Desa yang merasa dirugikan oleh penerapan ketentuan tidak tertulis berhak mengajukan keberatan melalui mekanisme pengaduan yang diatur oleh Kementerian.
Alasan normatif dari ayat (5) adalah untuk memberi check and balance melalui mekanisme keberatan yang sah, sehingga ada jalur koreksi terhadap penyalahgunaan aturan.
Rumusan ini bukan sekadar tambahan teknis, melainkan pagar etis dan hukum. Ia memastikan bahwa fleksibilitas kebijakan tidak mengorbankan kepastian hukum. Ketentuan tidak tertulis tetap boleh ada, namun tidak bisa digunakan secara sewenang-wenang.
Menuju Tata Kelola yang Lebih Transparan
Usulan penegasan normatif di atas lahir dari kesadaran bahwa regulasi bukan hanya teks, melainkan instrumen keadilan. Klausul tidak tertulis sejatinya dimaksudkan untuk memberi ruang adaptasi. Namun, ruang adaptasi harus dibarengi dengan mekanisme kontrol yang sehat.
Dengan adanya kewajiban dokumentasi, setiap kebijakan internal dapat ditelusuri jejaknya. Tidak ada lagi “aturan bisik-bisik” yang hanya diketahui segelintir orang. Semua pihak—baik tenaga pendamping maupun desa—punya akses yang sama terhadap informasi kebijakan yang berlaku.
Lebih jauh, mekanisme keberatan memberi ruang check and balance. Pendamping desa bisa menyuarakan keresahan mereka tanpa takut dianggap melawan aturan. Sebaliknya, Kementerian dapat memperbaiki kebijakan dengan masukan langsung dari lapangan. Transparansi dan partisipasi menjadi fondasi bersama.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!