Kepastian hukum dalam tata kelola pembangunan desa adalah fondasi penting yang tidak bisa ditawar. Setiap aturan yang berlaku bagi tenaga pendamping profesional dan pemerintah desa mestinya dirumuskan jelas, transparan, serta mudah diakses. Namun, munculnya klausul “tidak tertulis” dalam Kepmendes 294/2025 menimbulkan pertanyaan serius.
Apakah ia sekadar pengakuan terhadap praktik administratif yang belum terdokumentasi, atau justru membuka ruang tafsir liar? Bila tidak dipagari dengan jelas, klausul ini berpotensi berubah menjadi “pasal karet” yang melemahkan akuntabilitas. Karena itu, perlu ada penjelasan normatif yang menegaskan batas-batas maknanya.
Risiko di Balik Klausul Tak Tertulis
Klausul “tidak tertulis” bisa tampak sepele, namun implikasinya sangat besar. Tanpa definisi jelas, pejabat berwenang dapat menggunakannya untuk menjustifikasi tindakan administratif yang tidak tercantum dalam regulasi resmi. Ini menciptakan ketidakpastian bagi pendamping desa yang bekerja di lapangan.
Kepastian hukum adalah hak, bukan hadiah. Jika standar kinerja didasarkan pada aturan yang tidak pernah disampaikan secara resmi, maka tenaga pendamping profesional berisiko terkena sanksi tanpa dasar tertulis. Situasi semacam ini jelas bertentangan dengan prinsip good governance yang mengedepankan transparansi dan akuntabilitas.
Selain itu, inkonsistensi implementasi menjadi ancaman nyata. Apa yang dianggap sebagai “aturan tidak tertulis” di satu kabupaten bisa berbeda di kabupaten lain. Akibatnya, tenaga pendamping bisa mendapat perlakuan berbeda hanya karena perbedaan tafsir pejabat daerah. Ketidakadilan semacam ini tidak boleh dibiarkan.
Di sisi lain, klausul ini juga membuka peluang konflik. Pendamping atau desa bisa merasa dirugikan oleh aturan mendadak yang tidak pernah disosialisasikan. Ketidakpercayaan terhadap pemerintah pusat bisa menguat, padahal pendampingan desa sejatinya bertumpu pada sinergi dan kolaborasi.
Usulan Penegasan Normatif
Untuk menutup celah multitafsir, diperlukan tambahan penjelasan normatif dalam regulasi. Rumusannya sederhana namun tegas, yakni Pasal Tambahan (Usulan Penjelasan).
Ayat (1): Yang dimaksud dengan “ketentuan tidak tertulis” dalam Keputusan Menteri ini adalah norma, kebijakan internal, etika profesi, atau praktik administratif yang telah: a) disosialisasikan secara resmi oleh Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal; b) didokumentasikan dalam bentuk notulen rapat, surat edaran, surat tugas, atau pedoman teknis internal; dan c) berlaku umum serta bersifat konsisten di seluruh wilayah kerja.
Alasan normatif dari ayat (1) ini adalah untuk membatasi definisi “tidak tertulis” agar tidak liar dan tidak membuka ruang tafsir seenaknya.
Ayat (2): Ketentuan tidak tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dijadikan dasar pemberian sanksi, penilaian kinerja, atau pemutusan hubungan kerja kecuali apabila telah terlebih dahulu didokumentasikan secara resmi dan disampaikan kepada pihak terkait.