Dalam kondisi ini, literasi digital dan kesadaran regulasi desa menjadi benteng paling relevan. Bila warga dan pendamping sama-sama paham kerangka regulasi baru, hoaks tak lagi punya daya rusak sebesar itu.
Refleksi dari Dunia Pendamping
Menjadi pendamping desa berarti berada di tengah konflik ekspektasi, regulasi, dan realitas lapangan. Di satu sisi, ada beban moral tinggi; di sisi lain, ada keterbatasan kapasitas dan tekanan lokal. Posisi ini membuat kami mudah disalahpahami.
Kasus pemaksaan konsultan dan korupsi pajak bukan representasi profesi, melainkan kelalaian oknum. Mayoritas pendamping tetap berdedikasi, bekerja di bidang perencanaan, pelatihan masyarakat, pengorganisasian kelembagaan, dan penguatan kapasitas desa.
Regulasi baru, seperti Permendesa 3/2025, harus menjadi titik awal pembaruan sistem. Ini bukan sekadar pedoman administratif semata, tetapi ulang-tata yang meletakkan pendamping desa sebagai agen perubahan yang harus profesional, akuntabel, dan berpihak pada desa.
Mengutip Pasal 5, ruang lingkup pengaturan mencakup tata cara pendampingan, tugas dan fungsi pendamping profesional, serta pengawasan. Dengan regulasi ini, setiap tindakan pendamping bisa dievaluasi dalam kerangka aturan bersama.
Maka, momentum saat ini bukan untuk saling menyalahkan, melainkan introspeksi kolektif: bagaimana sistem pendampingan bisa diperkuat agar skandal dan hoaks tak lagi menyandera profesi dan melukai desa.
Menyulam Kembali Kepercayaan
Dalam kerangka regulasi baru, ada pijakan keamanan untuk membangun kembali kepercayaan. Transparansi dan akuntabilitas harus dijadikan praktik sehari-hari, bukan slogan. Publik harus bisa menelusuri langkah pendamping dan desa dalam proyek dan anggaran.
Regulasi Permendesa 3/2025 juga menegaskan bahwa pembinaan dan pengawasan dilakukan secara berjenjang oleh Menteri, gubernur, dan bupati. (Pasal 25). Dengan sistem pengawas yang jelas, upaya penyimpangan bisa diperkecil.
Perlindungan profesi pun penting. Jika regulasi menjamin ruang kerja pendamping dijauhkan dari campur tangan politik, maka stigma yang muncul dari hoaks bisa ditepis pelan tapi pasti.
Akhirnya, desa bukan arena tawar-menawar kepentingan, melainkan ruang hidup bersama. Pendamping desa sejati adalah mitra pembangunan, bukan tangan tersembunyi kepentingan. Dengan regulasi yang tegas, literasi yang kuat, dan niat kolektif, marwah profesi bisa terpelihara dan keadilan pembangunan tetap dijunjung tinggi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI