Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Penikmat Kopi

Seorang analis pembangunan desa dan konsultan pemberdayaan masyarakat yang mengutamakan integrasi SDGs Desa, mitigasi risiko bencana, serta pengembangan inovasi berbasis lokal. Ia aktif menulis seputar potensi desa, kontribusi pesantren, dan dinamika sosial di kawasan timur Indonesia. Melalui blog ini, ia membagikan ide, praktik inspiratif, dan strategi untuk memperkuat ketangguhan desa dari tingkat akar rumput. Dengan pengalaman mendampingi berbagai program pemerintah dan organisasi masyarakat sipil, blog ini menjadi ruang berbagi pengetahuan demi mendorong perubahan yang berkelanjutan.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Menjaga Marwah Pendamping Desa di Tengah Skandal, Konsultan, dan Hoaks

24 September 2025   10:45 Diperbarui: 26 September 2025   08:21 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menteri Desa gelar Temu Konsultasi Publik untuk memperkuat pengawasan serta pengawalan penggunaan Dana Desa. (Sumber: Dok. jdih.kemendesa)

Isu mengenai pendamping desa kembali ramai diperbincangkan di ruang publik. Melalui media sosial maupun pesan pribadi, tidak sedikit rekan yang menandai dan menanyakan soal kasus pajak Rp 2,9 miliar serta hoaks rekrutmen. Banyak pula yang berharap penjelasan agar tidak keliru memahami.

Dengan segala keterbatasan, jawaban yang bisa diberikan hanya sebatas pengetahuan yang ada. Namun derasnya pertanyaan yang terus muncul menunjukkan satu hal: profesi pendamping desa kini tengah berada di titik silang antara harapan dan keraguan publik yang menuntut respons lebih jernih dan terbuka.

Bayang-Bayang Skandal & Konsultan

Kasus di Cirebon terkait pajak desa menunjuk pada kenyataan pahit: tenaga pendamping desa yang seharusnya memperkuat justru ikut menyeret desa ke dalam persoalan. Nilai Rp 2,9 miliar bukan angka kecil — ia menjadi simbol kerawanan pengelolaan administratif.

Tak berhenti di situ, muncul praktik “pemaksaan halus” terhadap desa untuk menggunakan konsultan proyek yang dikendalikan pihak luar. Desa yang butuh dukungan teknis diposisikan dalam situasi sulit: tunduk atau dianggap tak profesional.

Konsultan eksternal dikemas sebagai “profesionalisme,” tetapi praktiknya bisa memakan dana desa di balik jargon administratif. Desa menjadi objek proyek, bukan subjek pembangunan. Pendamping yang tidak berhati-hati malah bisa terjebak dalam legitimasi praktek tersebut.

Kontras dengan ideal fungsi pendamping: menjembatani, mendorong partisipasi, mengawal transparansi. Jika konsultan atau oknum pendamping berpaling dari tugas itu, marwah profesi bisa terkikis dan rakyat desa menjadi pihak yang paling dirugikan.

Hoaks Rekrutmen: Bayang Politisasi yang Menyelinap

Tak lama setelah isu skandal muncul, hoaks soal rekrutmen pendamping desa menyebar. Surat kuota mencantumkan logo partai tertentu. Hal ini memicu keresahan, terutama di desa-desa yang menunggu keadilan prosedural.

Padahal, Permendesa 3/2025 sudah menetapkan bahwa pedoman pendampingan masyarakat desa harus dilaksanakan secara terpadu, sinergi, dan terkoordinasi (Pasal 2 ayat (2)). Surat kuota partai—jika benar, jelas bertentangan dengan semangat regulasi baru.

Menurut Pasal 3, pendampingan masyarakat desa mencakup fasilitasi kerja sama Desa dengan pihak ketiga, pengorganisasian desa, serta pengembangan kapasitas (asistensi, pengarahan) — bukan rekrutmen partisan.

Hoaks seperti itu sejatinya menyimpang dari landasan regulasi. Jika masyarakat desa menerima tanpa verifikasi, kedewasaan demokrasi di akar rumput bisa terganggu. Independensi pendamping desa harus dijaga agar tak menjadi alat politik tersembunyi.

Dalam kondisi ini, literasi digital dan kesadaran regulasi desa menjadi benteng paling relevan. Bila warga dan pendamping sama-sama paham kerangka regulasi baru, hoaks tak lagi punya daya rusak sebesar itu.

Refleksi dari Dunia Pendamping

Menjadi pendamping desa berarti berada di tengah konflik ekspektasi, regulasi, dan realitas lapangan. Di satu sisi, ada beban moral tinggi; di sisi lain, ada keterbatasan kapasitas dan tekanan lokal. Posisi ini membuat kami mudah disalahpahami.

Kasus pemaksaan konsultan dan korupsi pajak bukan representasi profesi, melainkan kelalaian oknum. Mayoritas pendamping tetap berdedikasi, bekerja di bidang perencanaan, pelatihan masyarakat, pengorganisasian kelembagaan, dan penguatan kapasitas desa.

Regulasi baru, seperti Permendesa 3/2025, harus menjadi titik awal pembaruan sistem. Ini bukan sekadar pedoman administratif semata, tetapi ulang-tata yang meletakkan pendamping desa sebagai agen perubahan yang harus profesional, akuntabel, dan berpihak pada desa.

Mengutip Pasal 5, ruang lingkup pengaturan mencakup tata cara pendampingan, tugas dan fungsi pendamping profesional, serta pengawasan. Dengan regulasi ini, setiap tindakan pendamping bisa dievaluasi dalam kerangka aturan bersama.

Maka, momentum saat ini bukan untuk saling menyalahkan, melainkan introspeksi kolektif: bagaimana sistem pendampingan bisa diperkuat agar skandal dan hoaks tak lagi menyandera profesi dan melukai desa.

Menyulam Kembali Kepercayaan

Dalam kerangka regulasi baru, ada pijakan keamanan untuk membangun kembali kepercayaan. Transparansi dan akuntabilitas harus dijadikan praktik sehari-hari, bukan slogan. Publik harus bisa menelusuri langkah pendamping dan desa dalam proyek dan anggaran.

Regulasi Permendesa 3/2025 juga menegaskan bahwa pembinaan dan pengawasan dilakukan secara berjenjang oleh Menteri, gubernur, dan bupati. (Pasal 25). Dengan sistem pengawas yang jelas, upaya penyimpangan bisa diperkecil.

Perlindungan profesi pun penting. Jika regulasi menjamin ruang kerja pendamping dijauhkan dari campur tangan politik, maka stigma yang muncul dari hoaks bisa ditepis pelan tapi pasti.

Akhirnya, desa bukan arena tawar-menawar kepentingan, melainkan ruang hidup bersama. Pendamping desa sejati adalah mitra pembangunan, bukan tangan tersembunyi kepentingan. Dengan regulasi yang tegas, literasi yang kuat, dan niat kolektif, marwah profesi bisa terpelihara dan keadilan pembangunan tetap dijunjung tinggi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun