Obrolan di balai desa Gapura tak berhenti pada Dana Desa. Seorang kepala dusun lain menimpali dengan isu lain yang lebih personal: lahirnya Kementerian Haji dan Umrah. Baginya, kehadiran kementerian ini bisa menjadi angin segar bagi umat Islam di desa yang sudah lama menanti giliran berhaji.
Ia bercerita tentang mertuanya yang tak sempat berangkat haji. Setelah menunggu belasan tahun, sang mertua meninggal dunia hanya setahun sebelum jadwal keberangkatan. Kisah ini mencerminkan betapa antrean panjang haji menjadi persoalan nyata di desa, bukan sekadar angka di atas kertas.
Data terbaru menunjukkan bahwa antrean haji di Lombok Tengah pada 2024 diperkirakan mencapai sekitar 35 tahun. Angka ini didasarkan pada jumlah pendaftar yang terus meningkat dibandingkan dengan kuota keberangkatan 2025. Meski bisa berubah setiap tahun, rentang waktu ini jelas sangat panjang.
Sebagai perbandingan, di Jawa Timur, antrean haji berkisar antara 33–34 tahun. Panjangnya antrean ini menegaskan betapa tingginya minat masyarakat Indonesia untuk menunaikan ibadah haji. Di NTB, dengan mayoritas penduduk Muslim, antrean justru terasa semakin berat karena hampir setiap tahun jumlah pendaftar baru bertambah signifikan.
Harapan desa terhadap Kementerian Haji dan Umrah sederhana: antrean bisa dipersingkat. Bagi mereka, kementerian baru ini harus mampu menghadirkan sistem yang lebih adil dan solutif, agar warga desa tidak lagi merasa hanya menunggu tanpa kepastian.
Desa Membaca Politik Lewat Kehidupan Sehari-Hari
Dari Gapura, saya melihat dengan jelas bagaimana isu reshuffle kabinet bergema di desa. Obrolan sederhana kepala dusun tentang Dana Desa dan antrean haji menegaskan bahwa politik nasional selalu diterjemahkan dalam bahasa kebutuhan sehari-hari.
Bagi mereka, reshuffle bukanlah soal siapa dekat dengan partai tertentu atau bagaimana manuver politik di Senayan. Reshuffle adalah harapan bahwa jalan dalam desa bisa diaspal, irigasi sawah diperbaiki, atau antrean haji bisa diperpendek. Semua berpulang pada kebutuhan nyata yang mereka rasakan setiap hari.
Optimisme ini mungkin tidak selalu sesuai dengan realitas politik yang kompleks. Namun, di sinilah letak kekuatan desa: mereka tetap menjaga harapan meski tahu bahwa perubahan tidak selalu terjadi seketika. Harapan itu yang membuat mereka bertahan dan terus bergerak.
Pada akhirnya, refleksi dari Gapura menunjukkan bahwa desa memandang reshuffle kabinet bukan sekadar dinamika politik elite, melainkan bagian dari perjalanan hidup mereka. Dari jalan yang belum beraspal hingga daftar tunggu haji yang panjang, semua bertaut pada keputusan politik di pusat.
Dari balai desa sederhana itu, kita belajar bahwa optimisme warga desa, betapapun kecilnya, adalah modal besar bagi perjalanan bangsa. Politik nasional bisa saja berliku, tetapi desa selalu melihatnya dari sudut pandang yang membumi: kesejahteraan nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI