Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Penikmat Kopi

Seorang analis pembangunan desa dan konsultan pemberdayaan masyarakat yang mengutamakan integrasi SDGs Desa, mitigasi risiko bencana, serta pengembangan inovasi berbasis lokal. Ia aktif menulis seputar potensi desa, kontribusi pesantren, dan dinamika sosial di kawasan timur Indonesia. Melalui blog ini, ia membagikan ide, praktik inspiratif, dan strategi untuk memperkuat ketangguhan desa dari tingkat akar rumput. Dengan pengalaman mendampingi berbagai program pemerintah dan organisasi masyarakat sipil, blog ini menjadi ruang berbagi pengetahuan demi mendorong perubahan yang berkelanjutan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Menghindari Jebakan Logika Sesat dalam Pendampingan Desa

15 September 2025   10:59 Diperbarui: 15 September 2025   10:59 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: Image by gpointstudio on Freepik)

Dalam setiap musyawarah desa, argumen beradu. Namun, tidak semua argumen berdiri di atas logika yang sehat. Banyak pernyataan yang kelihatannya meyakinkan, tetapi sebenarnya cacat nalar. Inilah yang disebut dengan logical fallacy, atau kesesatan berpikir.

Sebagai pendamping desa, jebakan ini sering tidak disadari. Ketika membicarakan dana desa, misalnya, ada yang menyatakan, “Kalau tidak ikut aturan saya, berarti tidak peduli pada kemajuan desa.” Pernyataan semacam ini merupakan bentuk dikotomi palsu yang membatasi pilihan.

Kesalahan logika tidak sekadar mengacaukan perdebatan. Ia juga bisa berimplikasi pada keputusan pembangunan. Seperti dikemukakan Fisher dalam Critical Thinking: An Introduction (2001), kemampuan mengenali argumen sesat adalah fondasi bagi proses pengambilan keputusan yang sehat.

Dengan demikian, memahami logical fallacy menjadi kebutuhan penting dalam pendampingan. Desa membutuhkan diskusi kritis yang jernih, bukan sekadar adu kata yang penuh emosi. Kesadaran ini bisa menjadi titik awal bagi kualitas tata kelola desa yang lebih baik.

Wajah-Wajah Fallacy dalam Musyawarah Desa

Jenis kesalahan logika beragam, dan masing-masing sering muncul di forum desa. Pertama adalah ad hominem, serangan pribadi. Alih-alih mengkritik usulan, seseorang menyerang individu. Misalnya, “Usulan itu tidak layak, karena pendampingnya malas.” Kritik ini jelas melenceng.

Kedua adalah strawman, memelintir argumen lawan agar lebih mudah dipatahkan. Saat pendamping menyarankan alokasi dana untuk pemberdayaan, ada yang membalas, “Oh, jadi semua dana mau dihamburkan untuk pelatihan?” Distorsi semacam ini menyesatkan diskusi.

Ketiga adalah slippery slope, anggapan bahwa satu keputusan kecil pasti berujung bencana besar. Contohnya, “Kalau kita biarkan pendamping absen sekali rapat, nanti mereka tidak akan pernah datang.” Padahal tidak ada bukti hubungan pasti seperti itu.

Keempat adalah appeal to authority, menganggap sesuatu benar hanya karena tokoh berwenang berkata demikian. Misalnya, “Program ini pasti berhasil, sebab pejabat pusat sudah merestui.” Sebagaimana dijelaskan Walton dalam Informal Logic (2008), otoritas tidak selalu menjamin kebenaran.

Jika dibiarkan, wajah-wajah fallacy ini tidak hanya membuat musyawarah buntu, tetapi juga merusak kepercayaan. Desa yang seharusnya menjadi ruang deliberasi justru berubah menjadi ajang dominasi wacana tanpa dasar yang kuat.

Mengapa Pendamping Desa Rentan Terjebak

Pendamping desa bekerja dalam ruang sosial yang penuh dinamika. Mereka tidak hanya menghadapi kepala desa, tetapi juga warga dengan beragam kepentingan. Dalam situasi kompleks itu, argumen cepat sering lebih dipilih daripada penjelasan logis yang panjang.

Kerentanan ini juga terkait dengan budaya komunikasi. Seperti dijelaskan Geertz dalam The Religion of Java (1960), masyarakat pedesaan memiliki tradisi komunikasi yang kental dengan simbol, sindiran, dan perasaan. Tidak heran jika logika formal sering terpinggirkan.

Selain itu, posisi pendamping yang berada di antara pemerintah dan warga membuat mereka sering dijadikan sasaran. Ketika argumen mulai menekan, jalan pintas seperti ad hominem atau false dilemma mudah muncul. Bukan karena sengaja, tetapi karena tuntutan situasi.

Di sisi lain, keterbatasan kapasitas kritis juga menjadi faktor. Belum semua pendamping mendapat pelatihan tentang berpikir kritis. Padahal, menurut Ennis dalam Critical Thinking (1996), keterampilan ini dapat dilatih secara sistematis, bukan sekadar bakat alami.

Artinya, perlu kesadaran bahwa logika sesat adalah musuh tersembunyi dalam pendampingan desa. Tanpa kesadaran itu, diskusi akan terus terjebak dalam pola yang menguntungkan segelintir pihak, bukan kemajuan bersama.

Jalan Keluar: Literasi Logika untuk Desa

Pertanyaannya, bagaimana desa bisa keluar dari jeratan logical fallacy? Pertama, perlunya pelatihan literasi logika bagi pendamping. Pelatihan ini tidak harus kaku, tetapi bisa dikaitkan dengan praktik musyawarah sehari-hari sehingga terasa kontekstual.

Kedua, pendamping perlu mempraktikkan refleksi kritis dalam setiap rapat. Setiap argumen hendaknya diuji: apakah menyerang masalah, atau justru menyerang orang? Apakah memberi pilihan terbuka, atau hanya membatasi dua jalan? Pertanyaan sederhana ini bisa menjadi filter logis.

Ketiga, kepala desa dan perangkat perlu ikut mendukung budaya dialog sehat. Musyawarah yang sehat bukan sekadar soal aturan formal, tetapi keberanian mengoreksi argumen yang sesat. Dukungan kelembagaan akan memberi ruang aman bagi praktik berpikir kritis.

Keempat, perlu adanya panduan praktis. Misalnya, booklet kecil tentang logical fallacy yang bisa dipakai pendamping saat rapat. Seperti dikemukakan Paul dan Elder dalam Critical Thinking: Tools for Taking Charge of Your Learning and Your Life (2014), alat bantu sederhana bisa memperkuat kapasitas berpikir kritis.

Akhirnya, pendamping desa adalah garda depan pembangunan desa. Agar tidak terjebak dalam logika sesat, mereka harus melatih diri mengenali pola argumentasi yang cacat. Dengan begitu, desa tidak hanya membangun jalan atau jembatan, tetapi juga membangun nalar kolektif yang sehat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun