Dalam setiap musyawarah desa, argumen beradu. Namun, tidak semua argumen berdiri di atas logika yang sehat. Banyak pernyataan yang kelihatannya meyakinkan, tetapi sebenarnya cacat nalar. Inilah yang disebut dengan logical fallacy, atau kesesatan berpikir.
Sebagai pendamping desa, jebakan ini sering tidak disadari. Ketika membicarakan dana desa, misalnya, ada yang menyatakan, “Kalau tidak ikut aturan saya, berarti tidak peduli pada kemajuan desa.” Pernyataan semacam ini merupakan bentuk dikotomi palsu yang membatasi pilihan.
Kesalahan logika tidak sekadar mengacaukan perdebatan. Ia juga bisa berimplikasi pada keputusan pembangunan. Seperti dikemukakan Fisher dalam Critical Thinking: An Introduction (2001), kemampuan mengenali argumen sesat adalah fondasi bagi proses pengambilan keputusan yang sehat.
Dengan demikian, memahami logical fallacy menjadi kebutuhan penting dalam pendampingan. Desa membutuhkan diskusi kritis yang jernih, bukan sekadar adu kata yang penuh emosi. Kesadaran ini bisa menjadi titik awal bagi kualitas tata kelola desa yang lebih baik.
Wajah-Wajah Fallacy dalam Musyawarah Desa
Jenis kesalahan logika beragam, dan masing-masing sering muncul di forum desa. Pertama adalah ad hominem, serangan pribadi. Alih-alih mengkritik usulan, seseorang menyerang individu. Misalnya, “Usulan itu tidak layak, karena pendampingnya malas.” Kritik ini jelas melenceng.
Kedua adalah strawman, memelintir argumen lawan agar lebih mudah dipatahkan. Saat pendamping menyarankan alokasi dana untuk pemberdayaan, ada yang membalas, “Oh, jadi semua dana mau dihamburkan untuk pelatihan?” Distorsi semacam ini menyesatkan diskusi.
Ketiga adalah slippery slope, anggapan bahwa satu keputusan kecil pasti berujung bencana besar. Contohnya, “Kalau kita biarkan pendamping absen sekali rapat, nanti mereka tidak akan pernah datang.” Padahal tidak ada bukti hubungan pasti seperti itu.
Keempat adalah appeal to authority, menganggap sesuatu benar hanya karena tokoh berwenang berkata demikian. Misalnya, “Program ini pasti berhasil, sebab pejabat pusat sudah merestui.” Sebagaimana dijelaskan Walton dalam Informal Logic (2008), otoritas tidak selalu menjamin kebenaran.
Jika dibiarkan, wajah-wajah fallacy ini tidak hanya membuat musyawarah buntu, tetapi juga merusak kepercayaan. Desa yang seharusnya menjadi ruang deliberasi justru berubah menjadi ajang dominasi wacana tanpa dasar yang kuat.
Mengapa Pendamping Desa Rentan Terjebak
Pendamping desa bekerja dalam ruang sosial yang penuh dinamika. Mereka tidak hanya menghadapi kepala desa, tetapi juga warga dengan beragam kepentingan. Dalam situasi kompleks itu, argumen cepat sering lebih dipilih daripada penjelasan logis yang panjang.