Pendampingan desa kerap dipahami sebatas mengurusi teknis, seperti memfasilitasi musyawarah atau memastikan jalannya program pemerintah. Padahal, ada sisi lain yang sering terabaikan, yakni kekuatan kata-kata dalam menumbuhkan keyakinan bersama. Di titik inilah afirmasi hadir sebagai pelengkap kerja teknis tersebut.
Menurut Louise L. Hay dalam bukunya You Can Heal Your Life (1984), afirmasi merupakan pernyataan positif yang diulang untuk membentuk pola pikir baru. Jika dalam ranah pribadi ia bekerja menumbuhkan kepercayaan diri, maka dalam ranah sosial ia dapat memupuk optimisme kolektif. Pendamping desa bisa menggunakan ini untuk menghidupkan energi kebersamaan.
Contohnya sederhana. Dalam musyawarah desa, sebelum masuk ke agenda teknis, pendamping bisa mengajak warga mengucapkan kalimat positif bersama-sama: “Kami percaya desa kami punya potensi, dan kami bisa mengelolanya.” Ucapan yang diulang akan menciptakan rasa percaya pada kekuatan sendiri.
Seperti diingatkan Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed (1970), kesadaran kritis lahir bukan hanya dari analisis, tetapi juga dari keyakinan bahwa masyarakat mampu mengubah nasibnya. Afirmasi dapat menjadi pintu masuk untuk membangun kesadaran itu di desa.
Dengan demikian, afirmasi bukan sekadar kata-kata manis. Ia adalah strategi komunikasi untuk meneguhkan tekad, menumbuhkan kepercayaan, dan mengikat masyarakat dalam rasa optimisme bersama.
Menghubungkan Afirmasi dengan Proses Musyawarah
Musyawarah desa sering menjadi ruang yang kering, penuh angka, rencana, dan dokumen. Di sinilah afirmasi bisa memberi warna lain. Kalimat-kalimat positif dapat diletakkan di awal dan akhir pertemuan sebagai penanda bahwa musyawarah bukan hanya soal prosedur, tetapi juga soal jiwa.
Menurut Cohen dan Uphoff dalam Rural Development Participation (1980), partisipasi masyarakat desa tidak hanya ditentukan oleh akses informasi, tetapi juga oleh motivasi. Afirmasi berfungsi menyemai motivasi itu, sehingga masyarakat merasa bahwa kehadiran dan pendapat mereka berarti.
Bayangkan suasana musyawarah dimulai dengan ucapan bersama: “Kami berkumpul di sini untuk mencari solusi terbaik bagi desa kami, dan setiap suara berharga.” Dengan cara itu, warga merasa dihargai. Mereka tidak lagi sekadar peserta pasif, melainkan pemilik penuh proses pembangunan.
Tidak berhenti di situ, afirmasi juga bisa dipakai ketika menghadapi perbedaan pendapat. Kalimat seperti “Kami berbeda pandangan, tetapi tujuan kami sama: memajukan desa” dapat menurunkan ketegangan. Alih-alih terjebak konflik, masyarakat diarahkan untuk mencari titik temu.
Jika musyawarah desa diibaratkan jantung demokrasi desa, maka afirmasi adalah denyut yang menjaga aliran semangat tetap sehat. Ia menegaskan bahwa musyawarah bukan sekadar formalitas, melainkan ruang hidup bagi harapan bersama.