Hari itu saya baru saja kembali dari kegiatan organisasi mahasiswa. Energi sebagian besar terkuras agenda panjang yang membuat saya lalai memperhatikan urusan pribadi. Begitu tiba di asrama, kabar yang tidak saya duga datang: masa tinggal sudah berakhir, dan tenggat pindah hanya satu hari lagi. Saya tertegun, tak menyangka waktu ternyata begitu mepet.
Asrama yang biasanya ramai kini terasa lengang. Teman-teman dekat sudah lebih dulu pindah, sementara adik-adik angkatan yang bisa dimintai bantuan tengah pulang liburan semester. Tumpukan kardus berisi buku-buku dan barang pribadi seakan menatap saya, menuntut segera dipindahkan.
Menyewa mobil pengangkut barang tak mungkin dilakukan. Uang di saku hanya cukup untuk bertahan hidup beberapa hari. Maka, satu-satunya pilihan adalah mengandalkan tenaga sendiri. Jarak ke kos baru memang tidak jauh, hanya sekitar delapan ratus meter, tetapi jalannya menanjak. Di pikiran saya, angka itu terasa berlipat.
Dengan pasrah saya mulai mengangkut barang. Dus demi dus berpindah. Tangan pegal, keringat menetes deras, nafas terengah. Tubuh letih, tapi langkah harus terus dilanjutkan. Ada perasaan hampa di tengah jalanan sore Jakarta: kesepian yang membungkus diri di antara kardus-kardus.
Dus Terakhir dan Tubuh yang Penat
Setelah sebelas dus berpindah, tubuh saya hampir menyerah. Hanya tersisa dua dus terakhir. Saya tahu inilah ujian terberat. Kaki gemetar, punggung nyeri, dan dada sesak. Namun tak ada pilihan selain menuntaskannya.
Saya berjalan tertatih melewati gerbang asrama. Dus terasa jauh lebih berat dari isinya. Jalan menanjak di depan seperti mengejek sisa tenaga saya. Bukan hanya tubuh yang lelah, tapi juga perasaan yang dipenuhi kesepian. Ada sekelebat doa lirih dalam hati: andai ada yang sudi menolong.
Namun harapan itu cepat saya tepis. Bukankah ini Jakarta, kota besar yang sibuk dan dingin? Orang-orang terburu-buru dengan urusannya masing-masing. Menolong orang asing tentu bukan prioritas di tengah kerumitan hidup harian mereka.
Di tengah pikiran itu, tiba-tiba sebuah sepeda motor berhenti. Pengendaranya menoleh sebentar, lalu berkata singkat, “Ayo naik, saya antar.” Suaranya tenang. Saking lelahnya, saya spontan menurut. Tak sempat berpikir panjang. Dalam benak, saya hanya mengira ini ojek.
Sebuah Pertolongan yang Tak Terduga
Sepeda motor itu melaju perlahan, membawa saya dan dus terakhir. Angin sore menyapu wajah, memberi rasa lega yang tak terlukiskan. Perjalanan singkat itu seakan sebuah hadiah, di saat tubuh saya benar-benar berada di ambang batas.
Sesampainya di depan kos, saya refleks merogoh saku, bersiap menanyakan ongkos. Namun, sebelum sempat membuka mulut, pengendara itu memutar gas dan pergi begitu saja. Saya hanya berdiri terpaku, melongo. Pertolongan itu datang begitu tiba-tiba, lalu lenyap secepat ia datang.