Setiap zaman melahirkan tempat-tempat suci di mana ilmu dan iman bertemu dalam keheningan yang panjang. Di Lombok, satu nama telah menjelma menjadi pusat spiritual dan intelektual yang tak tergantikan: Pondok Pesantren Al-Aziziyah Kapek. Namanya menyalakan nyala cahaya harapan.
Selama empat dekade, pesantren ini bukan hanya membangun ruang pendidikan, tetapi juga menyusun peradaban. Dari rumah-rumah kecil dan masjid di dusun Kapek, Al-Aziziyah tumbuh menjadi taman ilmu dan amal, tempat generasi ditempa dengan hafalan dan akhlak sebagai poros utama.
Kini, menjelang 40 tahun usianya, muncul satu inisiatif penting: menyusun trilogi buku sejarah “40 Tahun Al-Aziziyah: Menapak Jejak Menuju Setengah Abad”. Ini bukan sekadar dokumentasi, melainkan ikhtiar kolektif untuk mengenang, merawat, dan mewariskan cahaya yang pernah dinyalakan. Cahaya yang menyinari santri, masyarakat, dan masa depan bangsa.
Jejak Para Perintis: Cahaya yang Disemai
Buku pertama dari trilogi ini rencananya dirancang untuk merekam jejak para perintis yang membangun Al-Aziziyah dari nol. Dimulai dari rumah pribadi dan masjid kampung, perjalanan itu menyimpan banyak kisah kepeloporan dan keteguhan dalam merintis jalan dakwah dan pendidikan.
TGH. Mustofa Umar, pendiri Al-Aziziyah, bukan hanya mewariskan bangunan fisik tetapi nilai dan arah perjuangan. Sebagaimana dijelaskan oleh Zakiah Daradjat dalam Ilmu Pendidikan Islam (2005), pendidikan Islam yang kuat selalu berangkat dari visi tokoh yang memiliki akar spiritual dan sosial.
Al-Aziziyah lahir pada 6 Jumadil Akhir 1405 H atau 3 November 1985. Di NTB, ia merupakan pionir pondok tahfidz di Nusa Tenggara Barat. Kekuatan utamanya sejak awal adalah program hafalan Al-Qur’an yang menjadi arus utama pendidikan di pesantren ini.
Langkah awal yang sederhana, dari halaqah di masjid Ussisa Alattaqwa dan rumah pribadi, menjadi saksi dari ketekunan sebuah komunitas yang percaya bahwa perubahan besar dimulai dari niat kecil yang terus-menerus diperjuangkan.
Menjaga Cahaya: Dinamika dan Kiprah Kini
Buku kedua diproyeksikan menggambarkan dinamika terkini pesantren. Al-Aziziyah kini berdiri kokoh di atas lahan kurang lebih seluas 10 hektare. Ia tak lagi sekadar pondok tahfidz, tetapi institusi pendidikan dari jenjang TK hingga perguruan tinggi yang terintegrasi dengan nilai keislaman.
Pada tahun 1993, dibuka pendidikan formal MTs dan MA yang menandai masuknya Al-Aziziyah dalam dunia pendidikan nasional. Namun, sebagai pesantren, identitas tahfidz tetap dipertahankan sebagai ruh utama. Pilihan ini menjadikan Al-Aziziyah unik.