Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Penikmat Kopi

Seorang analis pembangunan desa dan konsultan pemberdayaan masyarakat yang mengutamakan integrasi SDGs Desa, mitigasi risiko bencana, serta pengembangan inovasi berbasis lokal. Ia aktif menulis seputar potensi desa, kontribusi pesantren, dan dinamika sosial di kawasan timur Indonesia. Melalui blog ini, ia membagikan ide, praktik inspiratif, dan strategi untuk memperkuat ketangguhan desa dari tingkat akar rumput. Dengan pengalaman mendampingi berbagai program pemerintah dan organisasi masyarakat sipil, blog ini menjadi ruang berbagi pengetahuan demi mendorong perubahan yang berkelanjutan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Darul Wafa: Dari Takbir ke Tindakan Sosial di Hari Raya

7 Juni 2025   07:54 Diperbarui: 7 Juni 2025   09:18 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sebagian santri berpose seusai salat 'Id di Masjid Raya Hubbul Wathan-Islamic Center (Jumat, 6/06/2025). (Sumber: Dok. Ponpes Darul Wafa)

Idul Adha bukan sekadar hari raya yang penuh gemuruh takbir dan aroma daging panggang. Di Pondok Pesantren Darul Wafa, hari raya kurban menjadi ruang pembelajaran nyata tentang kepedulian sosial, gotong royong, dan pengamalan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari. Perayaan ini bukan hanya tentang menyembelih hewan, tetapi tentang membangun jiwa pengorbanan sejak dini.

Dalam tradisi Idul Adha di Pondok Pesantren Darul Wafa, santri selalu dilibatkan penuh dalam proses pelaksanaan kurban. Dari yang menyambut tamu, mendokumentasikan proses penyembelihan, sampai mengantarkan kopi untuk petugas di lapangan. Tak satu pun santri dibiarkan sekadar menjadi penonton. Semua menjadi pelaku dalam sebuah harmoni sosial yang digerakkan oleh semangat ibadah.

Menariknya, santriwati yang biasanya tidak terlibat langsung dalam penyembelihan, mengambil peran penting di balik layar. Sejak usai subuh hingga menjelang salat Zuhur, mereka menyiapkan makanan bagi seluruh panitia dan warga pesantren. Ini bukan sekadar tugas domestik, melainkan proses pembelajaran akan pentingnya melayani dan berbagi dengan tulus.

Darul Wafa telah menjadikan kurban sebagai bagian dari kurikulum kehidupan. Nilai-nilai keikhlasan, tanggung jawab, kerja sama, hingga penghormatan kepada tamu dan tetangga ditanamkan secara langsung. Tidak dengan ceramah, tetapi dengan keterlibatan aktif dalam proses yang menyentuh hati.

Dari Takbir ke Tindakan Nyata

Puncak acara kurban di Darul Wafa dimulai bukan dari sembelihan pertama, tetapi dari gema takbir yang dilantunkan bersama. Seluruh santri, guru, pimpinan yayasan, dan para mudhahi—orang yang berkurban—yang sempat hadir, berkumpul dalam satu ikatan spiritual. Takbir yang bersahutan menggema di halaman pesantren, menjadi penanda awal dimulainya sebuah perjalanan ibadah dan sosial.

Sebelum prosesi penyembelihan dimulai, para santri yang bertugas membawa spanduk kegiatan dan nama-nama mudhahi berbaris mengelilingi hewan-hewan kurban. Ini bukan sekadar simbol, melainkan bentuk penghormatan kepada amanah yang diemban pesantren. Dengan begitu, para mudhahi merasakan keterlibatan spiritual sekaligus tanggung jawab lembaga dalam mengelola amanah mereka.

Pimpinan Pesantren, TGH. Zulkarnaen Ruba'i, SH.I., M.A., berkesempatan menyembelih salah satu hewan kurban (Sumber: Dok. Ponpes Darul Wafa)
Pimpinan Pesantren, TGH. Zulkarnaen Ruba'i, SH.I., M.A., berkesempatan menyembelih salah satu hewan kurban (Sumber: Dok. Ponpes Darul Wafa)

Untuk mempertanggungjawabkan amanah kurban kepada para mudhahi, Pondok Pesantren Darul Wafa secara khusus mengundang mereka hadir menyaksikan prosesi penyembelihan hewan kurban. Momen ini sekaligus menjadi ruang silaturahim yang hangat antara pihak pesantren dan para mudhahi, yang kemudian dilanjutkan dengan acara makan bersama (roah) sebagai bentuk kebersamaan dan penghormatan.

Roah diadakan di aula utama, di mana seluruh warga pesantren makan siang bersama. Dengan alas tikar dan karpet dengan nampan besar berisi nasi dan lauk kambing, mereka duduk melingkar. Tidak ada sekat antara guru dan murid, atau antara pimpinan dan santri. Semua melebur dalam suasana yang akrab dan penuh rasa syukur.

Takbir yang sebelumnya dilantunkan kini menjelma menjadi tindakan nyata. Daging dibagi, kerja dibagi, tanggung jawab dibagi. Nilai-nilai itu menjadikan kurban bukan sekadar simbol, tetapi cara membangun karakter.

Santri dan Nilai Gotong Royong

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun