Bantuan Subsidi Upah (BSU) kembali menjadi bahan perbincangan di berbagai kalangan. Setiap kali program ini diumumkan, harapan tumbuh di tengah masyarakat yang mengandalkan gaji bulanan tak seberapa. Termasuk di antaranya para Pendamping Desa (PD) dan Pendamping Lokal Desa (PLD).
Di desa-desa, kabar tentang BSU kerap ditunggu. Nominalnya memang tak besar, tapi cukup berarti. Apalagi bagi mereka yang gajinya di bawah Rp3,5 juta. Sayangnya, tak semua yang berharap menerima bantuan itu. Bahkan, sebagian merasa layak namun justru terlewat.
Pendamping desa sejatinya adalah aktor penting pembangunan. Mereka berjibaku di lapangan, menjadi penghubung antara program negara dan masyarakat desa. Tetapi saat BSU diumumkan, banyak dari mereka yang hanya bisa bertanya: “Kenapa saya nggak dapat?”
Pertanyaan ini bukan soal cemburu atau ingin lebih dulu. Namun lebih kepada keinginan mendapatkan kepastian atas hak mereka. Terlebih karena mereka tahu kriteria penerima, dan merasa masuk dalam semua syarat yang ditentukan oleh pemerintah.
Faktanya, sebagian besar pendamping desa memang menerima gaji di bawah Rp3,5 juta. Tapi persoalan muncul karena tidak semuanya terdaftar dalam BPJS Ketenagakerjaan. Kepesertaan BPJS ternyata bergantung pada kesepakatan Tenaga Pendamping Profesional (TPP) di tiap provinsi.
BSU dan Syarat yang Tak Seragam
BSU tahun 2025 diberikan berdasarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 5 Tahun 2025. Bantuan sebesar Rp600.000 diberikan selama dua bulan, yakni untuk Juni dan Juli. Syarat utamanya cukup sederhana: WNI, aktif di BPJS Ketenagakerjaan per April 2025, dan bergaji di bawah Rp3,5 juta.
Secara formal, banyak pendamping desa memenuhi syarat tersebut. Tapi dalam praktiknya, banyak juga yang belum masuk dalam kepesertaan BPJS. Ini bukan karena mereka menolak, tetapi karena secara teknis belum ada kebijakan kolektif untuk mendaftarkan seluruh pendamping.
Kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan bagi pendamping desa ternyata tidak bersifat otomatis. Ia bergantung pada kesepakatan internal TPP di masing-masing provinsi. Ada provinsi yang menyepakati iuran BPJS secara kolektif, ada pula yang belum mengambil langkah tersebut.
Ketimpangan ini menciptakan situasi yang janggal. Dua pendamping dari provinsi berbeda, dengan posisi dan beban kerja serupa, bisa mengalami perlakuan yang berbeda. Yang satu terdaftar dan mendapat BSU, yang lain terlewat hanya karena status BPJS-nya belum aktif.
Padahal, substansi program BSU adalah membantu pekerja berpenghasilan rendah. Tidak logis jika pekerja lapangan seperti pendamping desa terlewat hanya karena perbedaan mekanisme administratif yang bahkan tidak mereka kendalikan sepenuhnya.
Gembira, Kecewa, dan Diam yang Terpaksa
Respons para pendamping terhadap BSU pun beragam. Ada yang gembira karena masuk daftar penerima. Ada yang kecewa karena merasa diperlakukan tidak adil. Dan ada pula yang mencoba bersikap biasa saja, meski hatinya tidak bisa dipungkiri—tergores juga.
Yang paling menyakitkan adalah ketika dua orang dengan status yang identik diperlakukan berbeda. Di satu tempat, seorang PLD mendapat bantuan karena masuk data BPJS, sementara rekannya di kabupaten tetangga hanya bisa menatap layar dan menghela napas.
Sebagian pendamping memilih diam. Mereka tahu suara mereka tak cukup didengar. Tapi dalam diam itu, ada perasaan janggal yang perlahan mengikis rasa percaya pada sistem. Bagaimana mungkin mereka yang setiap hari membantu orang lain mendapatkan bantuan, justru dilupakan?
Mereka menyampaikan edukasi tentang perlindungan sosial kepada warga. Namun, ketika program menyentuh ranah mereka sendiri, mereka jadi seperti anak tiri. Tak ada penjelasan resmi, tak ada ruang klarifikasi. Hanya ketidakpastian yang dijawab dengan saran untuk ikhlas.
Mengandalkan keikhlasan bukanlah solusi. Apalagi jika itu terjadi berulang kali. Negara mesti hadir tidak hanya lewat bantuan, tapi juga melalui kejelasan dan transparansi. Supaya tidak ada pekerja negara di akar rumput yang merasa dilupakan oleh institusinya sendiri.
Mengurai Masalah, Membangun Keadilan
Salah satu kelemahan besar dalam pelaksanaan program bantuan adalah tidak meratanya sistem data. Program seperti BSU bergantung sepenuhnya pada database BPJS Ketenagakerjaan. Maka, pekerja informal atau pekerja di luar nomenklatur tetap kerap luput dari bantuan.
Pendamping desa adalah contoh nyata kelompok yang berada di wilayah abu-abu itu. Mereka bekerja penuh waktu, berpenghasilan tetap, tapi status kepegawaian mereka bukan ASN, bukan juga pegawai swasta formal. Mereka berada di bawah mekanisme belanja barang dan jasa.
Status ini sering kali membuat mereka tersisih dari berbagai program bantuan berbasis sistem ketenagakerjaan formal. Termasuk BSU. Maka perlu ada terobosan kebijakan yang memperlakukan pendamping sebagai pekerja riil yang patut dijamin hak-haknya.
Solusinya bisa dimulai dengan mendorong seluruh TPP di Indonesia untuk mendaftarkan pendamping desa ke BPJS Ketenagakerjaan secara kolektif. Ini bukan sekadar soal iuran, tapi tentang membangun ekosistem perlindungan yang adil dan setara.
Kementerian Desa dan Kementerian Tenaga Kerja perlu bersinergi dalam hal ini. Jangan sampai ribuan pekerja lapangan yang menjadi wajah negara di desa, justru tidak masuk dalam peta penerima perlindungan sosial karena alasan teknis yang bisa diselesaikan dengan koordinasi.
Harapan dan Kepastian untuk Mereka yang Mengabdi
BSU seharusnya menjadi simbol hadirnya negara untuk rakyat kecil. Jika pelaksanaannya justru menciptakan ketidakadilan baru, maka esensinya patut dipertanyakan. Jangan sampai bantuan menjadi pemicu luka baru, hanya karena sistem tidak menjangkau mereka yang bekerja diam-diam.
Pendamping desa bukan hanya pekerja teknis. Mereka adalah penghubung antara harapan warga dan realitas birokrasi. Mereka menyusun data, mendampingi musyawarah, dan memastikan program berjalan. Tapi, saat bantuan turun, mereka pun layak dipastikan turut serta.
Tahun 2025 harus menjadi momentum untuk memperbaiki ini semua. Pemerintah sudah membuat regulasi yang lebih rinci, lewat Permenaker Nomor 5 Tahun 2025. Kini saatnya regulasi itu disinergikan dengan realitas di lapangan, termasuk menyentuh pekerja sektor hibrida seperti pendamping.
Pertanyaannya kini bukan lagi sekadar “Kenapa saya nggak dapat BSU?”, tapi: “Kapan semua pendamping desa bisa dipastikan masuk dalam sistem perlindungan sosial yang adil dan merata?” Jawabannya harus segera diberikan, dan tidak bisa ditunda tahun depan.
Karena dalam kejelasan ada keadilan, dan dalam keadilan akan tumbuh kepercayaan. Itu yang dibutuhkan para pendamping—lebih dari sekadar bantuan tunai: pengakuan bahwa kerja-kerja mereka di desa adalah pengabdian yang sungguh layak dihargai oleh negara.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI