BSU seharusnya menjadi simbol hadirnya negara untuk rakyat kecil. Jika pelaksanaannya justru menciptakan ketidakadilan baru, maka esensinya patut dipertanyakan. Jangan sampai bantuan menjadi pemicu luka baru, hanya karena sistem tidak menjangkau mereka yang bekerja diam-diam.
Pendamping desa bukan hanya pekerja teknis. Mereka adalah penghubung antara harapan warga dan realitas birokrasi. Mereka menyusun data, mendampingi musyawarah, dan memastikan program berjalan. Tapi, saat bantuan turun, mereka pun layak dipastikan turut serta.
Tahun 2025 harus menjadi momentum untuk memperbaiki ini semua. Pemerintah sudah membuat regulasi yang lebih rinci, lewat Permenaker Nomor 5 Tahun 2025. Kini saatnya regulasi itu disinergikan dengan realitas di lapangan, termasuk menyentuh pekerja sektor hibrida seperti pendamping.
Pertanyaannya kini bukan lagi sekadar “Kenapa saya nggak dapat BSU?”, tapi: “Kapan semua pendamping desa bisa dipastikan masuk dalam sistem perlindungan sosial yang adil dan merata?” Jawabannya harus segera diberikan, dan tidak bisa ditunda tahun depan.
Karena dalam kejelasan ada keadilan, dan dalam keadilan akan tumbuh kepercayaan. Itu yang dibutuhkan para pendamping—lebih dari sekadar bantuan tunai: pengakuan bahwa kerja-kerja mereka di desa adalah pengabdian yang sungguh layak dihargai oleh negara.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI