Padahal, substansi program BSU adalah membantu pekerja berpenghasilan rendah. Tidak logis jika pekerja lapangan seperti pendamping desa terlewat hanya karena perbedaan mekanisme administratif yang bahkan tidak mereka kendalikan sepenuhnya.
Gembira, Kecewa, dan Diam yang Terpaksa
Respons para pendamping terhadap BSU pun beragam. Ada yang gembira karena masuk daftar penerima. Ada yang kecewa karena merasa diperlakukan tidak adil. Dan ada pula yang mencoba bersikap biasa saja, meski hatinya tidak bisa dipungkiri—tergores juga.
Yang paling menyakitkan adalah ketika dua orang dengan status yang identik diperlakukan berbeda. Di satu tempat, seorang PLD mendapat bantuan karena masuk data BPJS, sementara rekannya di kabupaten tetangga hanya bisa menatap layar dan menghela napas.
Sebagian pendamping memilih diam. Mereka tahu suara mereka tak cukup didengar. Tapi dalam diam itu, ada perasaan janggal yang perlahan mengikis rasa percaya pada sistem. Bagaimana mungkin mereka yang setiap hari membantu orang lain mendapatkan bantuan, justru dilupakan?
Mereka menyampaikan edukasi tentang perlindungan sosial kepada warga. Namun, ketika program menyentuh ranah mereka sendiri, mereka jadi seperti anak tiri. Tak ada penjelasan resmi, tak ada ruang klarifikasi. Hanya ketidakpastian yang dijawab dengan saran untuk ikhlas.
Mengandalkan keikhlasan bukanlah solusi. Apalagi jika itu terjadi berulang kali. Negara mesti hadir tidak hanya lewat bantuan, tapi juga melalui kejelasan dan transparansi. Supaya tidak ada pekerja negara di akar rumput yang merasa dilupakan oleh institusinya sendiri.
Mengurai Masalah, Membangun Keadilan
Salah satu kelemahan besar dalam pelaksanaan program bantuan adalah tidak meratanya sistem data. Program seperti BSU bergantung sepenuhnya pada database BPJS Ketenagakerjaan. Maka, pekerja informal atau pekerja di luar nomenklatur tetap kerap luput dari bantuan.
Pendamping desa adalah contoh nyata kelompok yang berada di wilayah abu-abu itu. Mereka bekerja penuh waktu, berpenghasilan tetap, tapi status kepegawaian mereka bukan ASN, bukan juga pegawai swasta formal. Mereka berada di bawah mekanisme belanja barang dan jasa.
Status ini sering kali membuat mereka tersisih dari berbagai program bantuan berbasis sistem ketenagakerjaan formal. Termasuk BSU. Maka perlu ada terobosan kebijakan yang memperlakukan pendamping sebagai pekerja riil yang patut dijamin hak-haknya.
Solusinya bisa dimulai dengan mendorong seluruh TPP di Indonesia untuk mendaftarkan pendamping desa ke BPJS Ketenagakerjaan secara kolektif. Ini bukan sekadar soal iuran, tapi tentang membangun ekosistem perlindungan yang adil dan setara.
Kementerian Desa dan Kementerian Tenaga Kerja perlu bersinergi dalam hal ini. Jangan sampai ribuan pekerja lapangan yang menjadi wajah negara di desa, justru tidak masuk dalam peta penerima perlindungan sosial karena alasan teknis yang bisa diselesaikan dengan koordinasi.