Fiqih selama ini dikenal luas sebagai cabang ilmu dalam Islam yang mengatur hukum-hukum amaliah umat Islam, mulai dari persoalan ibadah hingga muamalah. Namun dalam realitas sosial kontemporer, pendekatan fiqih normatif saja tidak lagi mencukupi untuk menjawab tantangan umat.
Kita memerlukan pembacaan ulang terhadap fiqih dalam kerangka kontekstual yang lebih responsif dan menyentuh realitas umat, khususnya dalam menghadapi persoalan sosial seperti kemiskinan, ketimpangan, dan ketidakadilan yang terus berlangsung di tengah masyarakat modern yang kompleks.
Fiqih pemberdayaan adalah sebuah ijtihad sosial untuk menjadikan fiqih sebagai kekuatan transformatif dalam kehidupan masyarakat. Ia tidak semata mengajarkan hukum, tetapi juga memberi arah perjuangan umat dalam memperjuangkan keadilan dan keberdayaan bagi kelompok rentan dan marginal.
Menggali Spirit Maqashid dan Konteks Sosial
Gagasan fiqih pemberdayaan berakar pada semangat maqashid syariah, yakni tujuan utama dari syariat Islam untuk menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Tujuan ini bersifat universal dan harus terhubung dengan realitas sosial yang dihadapi umat.
Namun, seperti dikemukakan oleh Jasser Auda dalam Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach (IIIT, 2008), pendekatan maqashid harus diaktualisasikan dalam sistem kehidupan sosial yang kompleks dan berubah secara dinamis dan berkesinambungan.
Fiqih tidak bisa dipisahkan dari konteks sosial dan budaya di mana umat Islam hidup dan berjuang. Ia harus mampu membaca perubahan sosial, ekonomi, dan politik agar mampu memberi respons yang sesuai dengan kebutuhan dan problematika umat.
Fiqih pemberdayaan adalah gagasan untuk menggeser orientasi fiqih dari hukum yang elitis menjadi instrumen sosial yang membela dan memberdayakan kelompok-kelompok mustadh’afin (lemah) yang selama ini terpinggirkan oleh sistem yang tidak adil dan eksploitatif.
Menemukan Kembali Fungsi Sosial Fiqih
Dalam tradisi Islam, mustadh’afin adalah mereka yang lemah secara sosial dan ekonomi, seperti fakir miskin, buruh, perempuan terpinggirkan, dan masyarakat adat. Mereka seringkali tidak terjangkau oleh wacana fiqih yang berputar pada elite keagamaan.
Seperti dicatat oleh K.H. Husein Muhammad dalam Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender (PPSW, 2001), fiqih seringkali gagal melihat realitas ketimpangan karena terlalu terfokus pada aspek tekstual dan abai terhadap konteks sosial.
Fiqih pemberdayaan tidak hanya mengajarkan hukum, tetapi juga menawarkan strategi advokasi dan transformasi sosial. Fiqih menjadi bagian dari gerakan sosial yang membela hak-hak dasar manusia, terutama kelompok yang selama ini dilupakan.