Ini sejalan dengan semangat al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar (menyeru kebaikan dan mencegah kemungkaran) yang bukan hanya seruan moral, tetapi juga ajakan untuk mengubah struktur sosial yang menindas melalui advokasi kebijakan publik, gerakan sosial, dan pemberdayaan ekonomi rakyat.
Praktik-praktik fiqih pemberdayaan sebenarnya telah mulai muncul di berbagai daerah. Di beberapa pesantren, zakat dan wakaf dikelola untuk usaha produktif seperti pertanian, peternakan, dan koperasi santri yang melibatkan masyarakat sekitar secara aktif.
Memperkuat Basis Sosial Fiqih Pemberdayaan
Model ini mirip dengan konsep Pesantrenpreneur yang diusung oleh Anies Baswedan dalam pidato-pidatonya saat memimpin Indonesia Mengajar. Ia menyatakan bahwa pendidikan harus melahirkan agen perubahan dan pelaku ekonomi lokal yang mandiri dan berdaya.
Namun demikian, fiqih pemberdayaan bukan tanpa tantangan. Resistensi terhadap perubahan fiqih dari dalam komunitas sendiri sangat kuat, terutama ketika fiqih dipersepsikan sebagai doktrin sakral yang tidak boleh ditafsir ulang oleh siapa pun.
Padahal sejarah Islam menunjukkan bahwa fiqih selalu berkembang sesuai zaman dan kebutuhan umat. Para ulama klasik pun terbiasa berijtihad sesuai konteks zaman mereka, sebagai bentuk tanggung jawab intelektual dan sosial terhadap umat.
Seperti dikatakan oleh Yusuf al-Qaradawi dalam Fiqh al-Awlawiyyat (Al-Maktab al-Islami, 1994), kita harus mampu memilah mana yang prinsip dan mana yang bisa berubah sesuai konteks, agar fiqih tetap hidup dan dinamis dalam masyarakat.
Langkah strategis untuk memperkuat fiqih pemberdayaan adalah dengan memperluas literasi sosial di kalangan santri dan ulama, serta menjembatani ilmu fiqih dengan ilmu sosial dan ekonomi yang bisa membuka cakrawala berpikir dan merespons realitas.
Hal ini bisa dilakukan melalui pelatihan, kurikulum integratif, dan kolaborasi antara pesantren, perguruan tinggi, dan lembaga sosial. Sinergi ini diperlukan agar fiqih tidak hanya berkutat dalam wacana, tetapi juga hadir dalam aksi nyata di masyarakat.
Perlu juga ada publikasi dan riset fiqih yang mengangkat realitas sosial umat, sebagaimana dicontohkan oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah dalam Risalah Islam Berkemajuan (PP Muhammadiyah, 2015) yang kerap merespons persoalan kontemporer secara progresif.
Fiqih Pemberdayaan dalam Konteks Kehidupan Plural
Fiqih pemberdayaan juga harus mampu menjawab tantangan kehidupan plural yang multikultural. Dalam masyarakat majemuk, kehadiran non-Muslim sebagai warga negara setara menuntut pendekatan fiqih yang inklusif dan membangun solidaritas lintas iman.
Sebagaimana dijelaskan oleh Azyumardi Azra dalam Islam Substantif (2004), prinsip keadilan dan kemaslahatan dalam Islam tidak bersifat eksklusif. Spirit pemberdayaan umat harus melintasi batas-batas identitas keagamaan dan menjunjung tinggi kemanusiaan universal.