Contohnya adalah pengelolaan zakat secara produktif yang tidak hanya bersifat konsumtif, tetapi mampu menjadi modal usaha bagi kaum miskin. Ini telah terbukti berhasil dalam banyak komunitas Islam yang sadar akan kekuatan ekonomi umat.
Model ini diperjuangkan oleh Prof. Dr. Didin Hafidhuddin dalam Zakat dalam Perekonomian Modern (Gema Insani, 2002), yang menunjukkan bahwa zakat bisa menjadi instrumen pengentasan kemiskinan jika dikelola secara manajerial dan profesional.
Menggerakkan Ekonomi Umat Melalui Syariah
Fiqih pemberdayaan mendorong kita untuk memanfaatkan instrumen-instrumen syariah lainnya seperti wakaf, koperasi syariah, dan sistem keuangan mikro berbasis syariah. Instrumen-instrumen ini memiliki potensi besar untuk menggerakkan ekonomi umat secara berkeadilan.
Dalam konteks ini, ide-ide dari M. Umer Chapra dalam Islam and the Economic Challenge (Islamic Foundation, 1992) menjadi sangat relevan. Ia menekankan bahwa sistem ekonomi Islam bisa menciptakan distribusi kekayaan yang adil dan merata di masyarakat.
Sistem ekonomi Islam bukan hanya sistem moral, tetapi juga sistem kebijakan yang memungkinkan terciptanya stabilitas ekonomi, keseimbangan distribusi, dan keberdayaan masyarakat akar rumput jika dijalankan secara konsisten dan progresif.
Salah satu tantangan terbesar dalam menggagas fiqih pemberdayaan adalah perlunya perubahan paradigma di kalangan ulama dan institusi pendidikan Islam yang selama ini masih terpaku pada fiqih formalistik dan cenderung defensif terhadap kritik sosial.
Pesantren dan perguruan tinggi Islam harus mendorong pembelajaran fiqih yang lebih kontekstual, kritis, dan responsif terhadap persoalan kemanusiaan. Pembaruan metodologi menjadi penting agar fiqih tidak menjadi stagnan dalam menghadapi realitas.
Menolak Fiqih Simbolik dan Mendorong Aksi
K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam berbagai tulisannya di harian Kompas menekankan bahwa peran ulama tidak cukup hanya mengajarkan hukum, tetapi juga harus tampil sebagai aktor sosial yang membela kaum lemah dan mendorong perubahan sosial.
Namun kenyataannya, banyak lembaga keagamaan yang masih terjebak dalam fiqih simbolik dan formalisme hukum. Fiqih dibatasi hanya pada persoalan halal-haram yang sifatnya privat dan mengabaikan isu-isu keadilan struktural yang lebih luas.
Dalam pandangan Khaled Abou El Fadl dalam bukunya Speaking in God's Name: Islamic Law, Authority and Women (Oneworld, 2001), fiqih yang tidak berlandaskan pada nilai keadilan dan belas kasih akan melahirkan otoritarianisme dan membunuh nalar kritis umat.
Fiqih pemberdayaan sejatinya adalah bentuk ijtihad kolektif untuk menghidupkan kembali fungsi sosial Islam. Ia bukan sekadar doktrin normatif, melainkan alat perubahan sosial yang harus digunakan untuk menghapus penindasan dan menciptakan keadilan.