Dalam praktiknya, fiqih pemberdayaan dapat mewujud dalam kolaborasi sosial-ekonomi lintas agama. Misalnya, pengelolaan wakaf produktif yang memberdayakan petani tanpa membedakan latar belakang agama, atau koperasi syariah yang terbuka bagi masyarakat luas.
Pendekatan seperti ini tidak berarti mencampuradukkan akidah, tetapi justru memperkuat posisi Islam sebagai agama yang menjunjung ta’awun (tolong-menolong) dan ta’ayush (hidup berdampingan) dalam konteks kebangsaan dan kemanusiaan yang setara.
Fiqih pemberdayaan yang inklusif dapat menjadi jembatan untuk membangun harmoni sosial dan keadilan bersama. Sehingga, Islam hadir tidak hanya sebagai rahmat bagi umat Islam, tetapi sebagai rahmat bagi seluruh alam, sesuai visi rahmatan lil alamin.
Akhirnya, fiqih pemberdayaan adalah bagian dari upaya atau ijtihad membumikan Islam yang rahmatan lil alamin di tengah realitas sosial yang yang sarat ketimpangan, keterpinggiran, dan ketidakadilan struktural. Islam yang tidak hanya mengatur hubungan vertikal, tetapi juga memperjuangkan keadilan sosial dalam konteks kehidupan sehari-hari umat manusia.
Fiqih yang seperti inilah yang akan terus relevan dan membumi dalam kehidupan umat, serta menjadikan Islam sebagai kekuatan moral dan sosial yang mencerdaskan dan membebaskan, bukan membelenggu nalar dan membiarkan ketidakadilan merajalela di masyarakat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI